Pemerintah Taiwan sedang berupaya melestarikan banyak bahasa daerah yang hampir punah karena kewajiban menggunakan Bahasa Mandarin.
Pemerintah Taiwan mengumumkan situasi darurat budaya musim panas ini: Bahasa lokal desa berpenduduk asli Rukai terancam punah. Untuk itu kabinet pemerintahan mengupayakan pengumpulan catatan yang akan menyelamatkan dialek tersebut dan delapan lainnya yang tenggelam karena dominasi Bahasa Mandarin.
Sejarah Panjang
Penduduk asli Taiwan merupakan mayoritas selama sekitar 8.000 tahun. Empat abad lalu, penduduk migran mulai berdatangan lewat laut dari daratan Tiongkok, dan orang Tionghoa sekarang merupakan 98 persen penduduk. Pada 1960an, mantan pemimpin Taiwan Chiang Kai-shek memerintahkan asimilasi penduduk asli, mewajibkan mereka menggunakan Bahasa Mandarin.
Dari 42 bahasa asli Taiwan, sembilan diantaranya terancam punah. Salah satunya hanya dipakai oleh 10 orang. Hampir semua penduduk asli, kecuali generasi tua, berbicara Mandarin, bahasa resmi Taiwan.
Salah satu bahasa yang terancam punah adalah bahasa suku Sakizaya, yang memiliki 659 warga.
Pemerintah mengatakan bahwa sebagian besar penduduk asli memiliki insentif sedikit untuk menggunakan atau mengingat bahasa asli mereka karena mereka menikah dengan etnis Tionghoa atau bekerja jauh dari kampung halaman. Ada kekhawatiran bahwa sebagian besar bahasa yang terancam ini akan punah dalam 20 tahun.
Sejak 2008, pemerintah Taiwan telah mencoba menyelematkan bahasa-bahasa ini, namun tahun ini mereka fokus pada bahasa yang benar-benar terancam punah. Misi tersebut mendapat dukungan luas dari etnis mayoritas, karena banyak warga yang kembali ke budaya asli sebagai cara untuk membedakan Taiwan dengan rival politiknya, Tiongkok.
Yang-Chao Jui-chun, direktur proyek bahasa yang terancam punah dari badan pemerintah Dewan Penduduk Asli, mengatakan bahwa kepunahan apapun akan melemahkan budaya Taiwan dan Asia Pasifik.
Ia menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena bahasa-bahasa lokal mengandung informasi mengenai flora dan fauna yang akan punah seiring hilangnya bahasa tersebut.
Pengetahuan yang Musnah
Ia mengatakan bahwa jika tidak ada yang dapat berbicara bahasa asli dalam 50 sampai 100 tahun ke depan, tidak akan ada cara untuk mengekspresikan arti dan nilai budaya, mempengaruhi kemampuan orang Taiwan untuk menghormati kelompok-kelompok etnis lainnya dan hidup berdampingan satu sama lain. Sumber-sumber daya kultural seperti cerita dan pengetahuan akan hilang bersama dengan bahasa-bahasa tersebut. Sebagai contoh, ujarnya, suku Rukai dan Paiwan memiliki pengetahuan khas mengenai spesies-spesies ular tertentu.
Para antropolog juga menganggap suku-suku asli Taiwan kunci untuk memahami orang-orang di Pasifik Selatan dan Samudera Hindia yang secara etnis terhubung, dari Pulau Paskah ke Madagaskar.
Suku-suku Taiwan pertama kali mencapai pulau tersebut dari daratan Asia. Mereka menggunakan perahu menuju selatan sekitar 3.500 tahun lalu. Pemerintahan Taiwan mengatakan bahwa suku-suku asli tersebut tetap ideal untuk penelitian karena sebagian besar dari mereka tidak tersentuh para penginjil dari Barat.
Kabinet di Taiwan mengakui adanya 14 suku, dengan jumlah berkisar antara beberapa ratus sampai kelompok Amis yang hampir mencapai 190.000. Populasi total adalah sekitar setengah juta dan secara umum meningkat.
Tiongkok Mengambil Alih
Kolas Yotaka, direktur bagian berita di Taiwan Indigenous TV (TV Penduduk Asli), mengatakan bahwa penggunaan bahasa-bahasa asli hilang karena pembicara potensial diwajibkan menggunakan Bahasa Mandarin di sekolah umum dan meninggalkan kampung halamannya di bagian timur Taiwan untuk bekerja di daerah urban di barat.
Yotaka mengatakan bahwa daerah barat didominasi oleh non-penduduk asli namun untuk bertahan dan menghasilkan uang, penduduk asli harus pindah ke sana. Sekali mereka pindah, tambahnya, para pendatang tersebut dipaksa berbicara Mandarin atau dialek Taiwan untuk berkomunikasi.
Taiwan sedang mempelajari usaha efektif New Zealand untuk menyelamatkan bahasa-bahasa suku Maori lewat kursus privat satu per satu dan mengijinkan pihak otonomi suku untuk menentukan elemen-elemen dalam sistem pendidikan. Pemerintah Taiwan juga telah menghubungi pemerintah Kanada, tempat tinggal suku-suku Inuit dekat Lingkaran Arktik, dan negara Pulau Pasifik kecil, Palau.
Faustina Rehuher-Marugg, Menteri Kebudayaan Palau, mengatakan bahwa penduduk berjumlah 21.000 itu menyelamatkan bahasa asli mereka dengan mencatatkannya secara tertulis untuk murid sekolah. Hampir semua orang di bekas protektorat AS tersebut juga pandai berbicara Bahasa Inggris. Dalam kunjungannya ke Taipei bulan ini, Rehuher-Marugg menyarankan Taiwan untuk melakukan pencatatan atau dokumentasi.
“Saya kira mereka perlu membuat kamus dan tata bahasa dan menerbitkannya sebagai bagian kurikulum karena hal-hal seperti itulah yang bisa menjadi catatan,” ujarnya. “Karena ini bagian dari sekolah, pengetahuan ini telah diajarkan sejak kelas satu.”
Taiwan barangkali akan mencatat bahasa-bahasa aslinya, meski kurangnya sistem penulisan masyarakat lokal akan membuat upaya tersebut sulit.
Pemerintah telah menganggarkan sekitar $220.000 tahun ini untuk melestarikan bahasa asli. Sebagian dana akan digunakan untuk mengumpulkan informasi apapun yang tersedia di desa-desa suku asli dan merekam orang-orang tua yang masih berbicara bahasa-bahasa yang terancam punah tersebut. Ada juga rencana untuk mengembangkan program studi bahasa informal dan ujian untuk mensertifikasi pengguna bahasa asli.
Untuk menyelamatkan bahasa desa Rukai, pemerintah harus terlebih dahulu melakukan survei di dusun di sebelah selatan Taiwan tersebut untuk mengetahui secara pasti berapa banyak penduduk yang masih menggunakannya.
Sejarah Panjang
Penduduk asli Taiwan merupakan mayoritas selama sekitar 8.000 tahun. Empat abad lalu, penduduk migran mulai berdatangan lewat laut dari daratan Tiongkok, dan orang Tionghoa sekarang merupakan 98 persen penduduk. Pada 1960an, mantan pemimpin Taiwan Chiang Kai-shek memerintahkan asimilasi penduduk asli, mewajibkan mereka menggunakan Bahasa Mandarin.
Dari 42 bahasa asli Taiwan, sembilan diantaranya terancam punah. Salah satunya hanya dipakai oleh 10 orang. Hampir semua penduduk asli, kecuali generasi tua, berbicara Mandarin, bahasa resmi Taiwan.
Salah satu bahasa yang terancam punah adalah bahasa suku Sakizaya, yang memiliki 659 warga.
Pemerintah mengatakan bahwa sebagian besar penduduk asli memiliki insentif sedikit untuk menggunakan atau mengingat bahasa asli mereka karena mereka menikah dengan etnis Tionghoa atau bekerja jauh dari kampung halaman. Ada kekhawatiran bahwa sebagian besar bahasa yang terancam ini akan punah dalam 20 tahun.
Sejak 2008, pemerintah Taiwan telah mencoba menyelematkan bahasa-bahasa ini, namun tahun ini mereka fokus pada bahasa yang benar-benar terancam punah. Misi tersebut mendapat dukungan luas dari etnis mayoritas, karena banyak warga yang kembali ke budaya asli sebagai cara untuk membedakan Taiwan dengan rival politiknya, Tiongkok.
Yang-Chao Jui-chun, direktur proyek bahasa yang terancam punah dari badan pemerintah Dewan Penduduk Asli, mengatakan bahwa kepunahan apapun akan melemahkan budaya Taiwan dan Asia Pasifik.
Ia menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena bahasa-bahasa lokal mengandung informasi mengenai flora dan fauna yang akan punah seiring hilangnya bahasa tersebut.
Pengetahuan yang Musnah
Ia mengatakan bahwa jika tidak ada yang dapat berbicara bahasa asli dalam 50 sampai 100 tahun ke depan, tidak akan ada cara untuk mengekspresikan arti dan nilai budaya, mempengaruhi kemampuan orang Taiwan untuk menghormati kelompok-kelompok etnis lainnya dan hidup berdampingan satu sama lain. Sumber-sumber daya kultural seperti cerita dan pengetahuan akan hilang bersama dengan bahasa-bahasa tersebut. Sebagai contoh, ujarnya, suku Rukai dan Paiwan memiliki pengetahuan khas mengenai spesies-spesies ular tertentu.
Para antropolog juga menganggap suku-suku asli Taiwan kunci untuk memahami orang-orang di Pasifik Selatan dan Samudera Hindia yang secara etnis terhubung, dari Pulau Paskah ke Madagaskar.
Suku-suku Taiwan pertama kali mencapai pulau tersebut dari daratan Asia. Mereka menggunakan perahu menuju selatan sekitar 3.500 tahun lalu. Pemerintahan Taiwan mengatakan bahwa suku-suku asli tersebut tetap ideal untuk penelitian karena sebagian besar dari mereka tidak tersentuh para penginjil dari Barat.
Kabinet di Taiwan mengakui adanya 14 suku, dengan jumlah berkisar antara beberapa ratus sampai kelompok Amis yang hampir mencapai 190.000. Populasi total adalah sekitar setengah juta dan secara umum meningkat.
Tiongkok Mengambil Alih
Kolas Yotaka, direktur bagian berita di Taiwan Indigenous TV (TV Penduduk Asli), mengatakan bahwa penggunaan bahasa-bahasa asli hilang karena pembicara potensial diwajibkan menggunakan Bahasa Mandarin di sekolah umum dan meninggalkan kampung halamannya di bagian timur Taiwan untuk bekerja di daerah urban di barat.
Yotaka mengatakan bahwa daerah barat didominasi oleh non-penduduk asli namun untuk bertahan dan menghasilkan uang, penduduk asli harus pindah ke sana. Sekali mereka pindah, tambahnya, para pendatang tersebut dipaksa berbicara Mandarin atau dialek Taiwan untuk berkomunikasi.
Taiwan sedang mempelajari usaha efektif New Zealand untuk menyelamatkan bahasa-bahasa suku Maori lewat kursus privat satu per satu dan mengijinkan pihak otonomi suku untuk menentukan elemen-elemen dalam sistem pendidikan. Pemerintah Taiwan juga telah menghubungi pemerintah Kanada, tempat tinggal suku-suku Inuit dekat Lingkaran Arktik, dan negara Pulau Pasifik kecil, Palau.
Faustina Rehuher-Marugg, Menteri Kebudayaan Palau, mengatakan bahwa penduduk berjumlah 21.000 itu menyelamatkan bahasa asli mereka dengan mencatatkannya secara tertulis untuk murid sekolah. Hampir semua orang di bekas protektorat AS tersebut juga pandai berbicara Bahasa Inggris. Dalam kunjungannya ke Taipei bulan ini, Rehuher-Marugg menyarankan Taiwan untuk melakukan pencatatan atau dokumentasi.
“Saya kira mereka perlu membuat kamus dan tata bahasa dan menerbitkannya sebagai bagian kurikulum karena hal-hal seperti itulah yang bisa menjadi catatan,” ujarnya. “Karena ini bagian dari sekolah, pengetahuan ini telah diajarkan sejak kelas satu.”
Taiwan barangkali akan mencatat bahasa-bahasa aslinya, meski kurangnya sistem penulisan masyarakat lokal akan membuat upaya tersebut sulit.
Pemerintah telah menganggarkan sekitar $220.000 tahun ini untuk melestarikan bahasa asli. Sebagian dana akan digunakan untuk mengumpulkan informasi apapun yang tersedia di desa-desa suku asli dan merekam orang-orang tua yang masih berbicara bahasa-bahasa yang terancam punah tersebut. Ada juga rencana untuk mengembangkan program studi bahasa informal dan ujian untuk mensertifikasi pengguna bahasa asli.
Untuk menyelamatkan bahasa desa Rukai, pemerintah harus terlebih dahulu melakukan survei di dusun di sebelah selatan Taiwan tersebut untuk mengetahui secara pasti berapa banyak penduduk yang masih menggunakannya.