Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menegaskan pertemuan pertama seorang diplomat tinggi negara dengan Menteri Luar Negeri Myanmar U Wunna Maung Lwin, menteri yang ditunjuk pemerintah junta militer, di Bangkok hari Rabu (24/2), tidak bisa diartikan sebagai pengakuan Indonesia atas pemerintahan baru di negara Pagoda Emas itu. Pertemuan itu hanya bagian dari upaya membangun komunikasi dengan pihak-pihak terkait untuk mencari upaya penyelesaian krisis di negara itu.
"Kalau kita ikuti dari jumpa pers yang Ibu sampaikan kemarin, Ibu tidak menyebut Menlu. Beliau hanya menyebut nama. Dengan demikian itu yang perlu kita catat bahwa pembicaraannya lebih antara dua orang. Satu Ibu Menlu sebagai orang Indonesia dan yang bersangkutan sebagai orang Myanmar," kata Faizasyah ketika diwawancarai VOA hari Kamis (25/2).
Ketika ditanya mengapa dalam pertemuan itu Retno tidak membahas soal penangkapan dan penahanan para pemimpin sipil dan aktivis demokrasi di Myanmar, Faizasyah mengatakan waktu pertemuan antara Retno dan Maung Lwin sangat singkat sehingga Retno hanya menyampaikan posisi prinsip Indonesia terkait perkembangan situasi di Myanmar.
Faizasyah menekankan aspek-aspek penting terkait situasi terkini di Myanmar diharapkan dapat dibahas dalam pertemuan darurat para menteri luar negeri ASEAN yang tengah direncanakan. Namun waktu dan tempatnya belum bisa dipastikan.
Selain berkomunikasi dengan pihak junta, Faizasyah memastikan Indonesia juga berkomunikasi dengan pihak-pihak yang telah menjadi korban kudeta. Namun ia tidak merinci pihak yang dimaksud.
BACA JUGA: Menlu Myanmar Pilihan Junta Hadiri Pembicaraan Regional di BangkokMenteri Luar Negeri Retno Marsudi hari Rabu (24/2) melangsungkan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Myanmar U Wunna Maung Lwin – menteri yang ditunjuk pemerintahan junta militer pasca kudeta 1 Februari.
Maung Lwin, purnawirawan tentara berpangkat kolonel yang juga mantan menteri luar negeri pada tahun 2011-2016, merupakan tokoh yang baru ditunjuk junta militer Myanmar sebagai menteri luar negeri.
Pertemuan di bandara Don Muang, Bangkok, yang juga dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai itu merupakan pertemuan pertama seorang pejabat tinggi asing dengan pejabat yang ditunjuk pemerintahan junta hasil kudeta. Oleh karena itu tak heran banyak pihak yang menilai pertemuan itu mengisyaratkan bahwa Indonesia mengakui pemerintahan hasil kudeta itu.
Dihubungi terpisah, pakar ASEAN di Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Jamin mengatakan pertemuan Retno dan Maung Lwin adalah langkah yang benar karena sebelumnya Retno telah berkomunikasi dengan para mitranya di ASEAN.
Ditambahkannya, suka atau tidak suka pihak Myanmar yang harus diajak bicara oleh Indonesia adalah pemerintahan yang sekarang, yakni junta militer.
Your browser doesn’t support HTML5
"Sebuah upaya untuk bertemu dengan pihak yang de facto sedang berkuasa, mau tidak mau harus dilakukan. Kalau nggak, bagaimana kita akan membuat sebuah dialog dalam konteks ASEAN? Karena negara yang diajak dialog itu harus setuju dulu," ujar Rafendi.
Rafendi menegaskan jangan terburu-buru mengambil kesimpulan dialog yang dilakukan antara Retno dengan Maung Lwin merupakan pengakuan terhadap sebuah kudeta. Apalagi dalam pernyataan persnya, Retno cuma menggunakan nama saja tidak menambahkan jabatan menteri luar negeri kepada Maung Lwin.
BACA JUGA: Batal ke Naypitaw, Menlu Retno Bertemu Menlu Myanmar di BangkokMenurut Rafendi, yang ditunggu saat ini adalah jawaban dari pihak junta Myanmar apakah setuju dengan pertemuan darurat para menteri luar negeri ASEAN untuk membahas krisis politik yang tengah terjadi di negaranya.
Dalam pertemuan dengan dengan Menteri Luar Negeri Myanmar Maung Lwin, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi kembali menyampaikan secara tegas posisi Indonesia yang konsisten terhadap krisis politik di Myanmar sejak meletupnya kudeta. [fw/em]