Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian mensinyalir para jihadis yang telah kembali dari Suriah sudah mulai menyebarluaskan paham terorisme di Indonesia. Setidaknya ada 500 warga Indonesia pernah ikut bertempur bersama milisi ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) dan Al-Qaida di Suriah dan Irak.
Para jihadis ini belum bisa ditindak oleh Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
Kecemasan kian meningkat setelah terjadi serangkaian serangan bom bunuh diri di Surabaya selama dua hari berturut-turut.
Diawali dengan serangan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada hari Minggu (14/5) yang menewaskan sedikitnya 13 orang dan melukai 43 lainnya; disusul serangan bom bunuh diri di gerbang Mapolrestabes Surabaya pada Senin (15/5) yang melukai delapan orang, termasuk 4 petugas polisi.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengakui bahaya keberadaan dan misi yang dibawa para jihadis yang baru kembali dari Suriah itu. Ia menyerukan kepada Presiden Joko Widodo untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) agar ada landasan hukum untuk mengambil tindakan terhadap mereka.
Menurut Mbai, para jihadis yang baru kembali dari Suriah ini memiliki militansi sangat tinggi karena pernah merasakan langsung pertempuran di lapangan.
"Perpu segera aja tuh turun, biar diangkat jadi undang-undang. Perpu khusus untuk yang dari Suriah yang selama ini sangat riskan sekali dengan militansi yang begitu besar, siap untuk mati, dan bahkan sekeluarga, seanak-anaknya," kata Mbai.
Mbai meyakini revisi Rancangan Undang-undang (RUU) Antiterorisme tengah dibahas di Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat belum tentu mampu menjawab tantangan mengenai keberadaan para jihadis tersebut, tetapi ia yakin masyarakat akan mendukung keluarnya perppu itu agar aparat berwenang dapat segera bertindak.
Pengamat terorisme di Universitas Indonesia Ridlwan Habib mengatakan tidak diperlukan perppu untuk menangani para jihadis atau warga negara Indonesia yang kembali dari Suriah.
Your browser doesn’t support HTML5
"Misalnya siapa yang bertanggung jawab menyediakan shelter, sementara misalnya Kementerian Sosial dan berapa lama ditampung, setelah itu siapa yang bertugas assessment dia idiolog atau dia partisan atau dia sekedar ikut-ikutan, itu siapa apakah tim khusus atau BNPT saja atau melibatkan BIN atau yang lain, setelah itu siapa yang melakukan pengawasan setelah mereka keluar ke masyarakat, apakah dengan mekanisme normal polres setempat atau khusus seperti ada task force khusus pengawasan deportan Suriah misalnya yang kemudian diciptakan pemeritah anggotanya dari Polri, BIN, Jadi itu yang bisa dilakukan tidak harus menunggu revisi UU anti teror atau Perppu, sudah bisa sebenarnya dengan adanya Mou itu kalau ada itikad serius," ujar Ridlwan.
Selama ini, tambahnya pengawasan yang dilakukan terhadap para jihadis atau para deportan dari Suriah masih minim dan sedianya aparat mengevaluasi kembali hal ini. [fw/em]