Delapan belas tahun yang lalu, Wita Salim hijrah ke Amerika bersama suaminya yang pada waktu itu melanjutkan pendidikan tinggi. Sebagai warga muslim Wita merasa beruntung tinggal di negara bagian Maryland yang komunitasnya sangat beragam.
“Jadi istilahnya banyak sekali imigran juga, dan mereka menerima apa adanya,” papar Wita Salim kepada VOA belum lama ini.
Your browser doesn’t support HTML5
Tinggal di negara yang mayoritas penduduknya non-muslim tidak menjadi penghalang bagi Wita untuk tetap mendalami ajaran agamanya. Ia memiliki guru agama dan tergabung dalam kelompok pengajian. Dari situlah ia kemudian memutuskan untuk mulai mengenakan hijab sekitar tahun 2006.
“Pakai hijab itu adalah sesuatu yang memang diharuskan oleh Allah. Tapi pada saat saya pakai juga ternyata buat saya adalah suatu kenikmatan tersendiri,” jelas Wita.
Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Pew, jumlah warga muslim di amerika mencapai 3,3 juta orang pada tahun 2015. Angka ini hanyalah satu persen dari jumlah penduduk Amerika secara keseluruhan.
Sebagai minoritas di Amerika, Wita menyadari bahwa memakai hijab tentu saja ada tantangannya. Ia pernah mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan akibat islamofobia di Amerika.
“Waktu itu ada yang bilang sama saya langsung di depan muka saya ‘You have to go back to your country. This is America,” kata Wita.
“Saya cuman bilang balik, that’s why this is America. (Semua) punya kebebasan justru di Amerika untuk memeluk agamanya masing-masing, memegang faith-nya masing-masing. If this is not America, then I won’t be here. Sebagai orang islam I won’t be here. Just because this is America, everybody has a freedom to do so,” lanjutnya.
Penampilan Wita yang berhijab pun pernah dipertanyakan.
“Satu atau dua kali bisa nih orang tiba-tiba (bertanya) ‘ngapain kamu pakai hijab?’” ujar Wita.
Berdasarkan laporan tahun 2016 dari Dewan Hubungan Islam di AS (CAIR), insiden islamofobia di Amerika mengalami pelonjakan.
“Kami merekam adanya peningkatan sebanyak 57 persen insiden bias anti-islam di tahun 2016 dibandingkan tahun 2015. Juga adanya peningkatan kejahatan berdasar kebencian sebesar 44 persen dalam periode waktu yang sama,” ujar Zainab Arain, koordinator bagian pengawasan dan perlawanan islamofobia di CAIR.
Menurut Zainab, salah satu penyebabnya adalah gaya bahasa yang disampaikan oleh para politisi yang menyudutkan warga muslim.
“(Mereka) membuat pernyataan seperti ‘Islam membenci kita’ dan mereka ingin melarang (masuk) warga muslim dan sebagainya. Itulah yang memicu ketakutan, kebencian, dan meningkatkan islamofobia,” jelas Zainab.
Hal-hal seperti ini tidak membuat Wita terganggu atau berkecil hati. Ia bahkan melihatnya sebagai tantangan.
“Pakai hijab itu pasti akan ada hal-hal yang seperti itu. Apalagi kita sebagai minoritas. Tapi apakah itu hal yang sangat mengganggu? Sepertinya tidak ya buat saya, karena balik lagi, itu dinamikanya kehidupan ya, selalu ada pro dan kontra, dan kebetulan karena kita minoritas, kalau kita terlalu sensitif, kita enggak akan bisa, istilahnya, survived,” tutur Wita.
Walaupun pernah mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan sebagai muslim di Amerika, Wita percaya tidak semua orang Amerika seperti itu.
“Saya tidak bisa judging bahwa semua orang seperti itu enggak. Karena buktinya, yang satu ngomong ini, mungkin yang sebelahnya akan langsung membela saya,” ujarnya.
Saat ini Wita berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia paruh waktu di Amerika. Selain itu, ia juga aktif sebagai penggiat budaya yang tergabung dalam organisasi Rumah Indonesia di Washington, DC, yang bertujuan untuk mempromosikan Indonesia beserta kebudayaannya kepada masyarakat internasional.
Salah satu kegiatan Wita di Rumah Indonesia adalah mengajarkan membatik di sekolah-sekolah dasar di Amerika. Suatu kali ketika mengajar di sekolah, salah seorang murid kemudian bertanya mengenai hijab yang ia pakai.
“Waktu itu musim panas (murid) tanya sama saya, It's very innocent sih ya, anak kecil soalnya (yang) bertanya, anak SD kelas 3. ‘Kenapa kamu kepalanya ditutup? This is summer time.’ Kemudian saya bilang saya pakai ini it’s not because of summer, it’s not because of winter, saya melakukan ini untuk Tuhan. Ketika semua hal kita lakukan untuk Tuhan, Tuhan melancarkan (kehidupan saya). Believe it or not, they understand about that," kata Wita.
Namun, Wita mengatakan berhijab bukanlah penghalang baginya dalam mencari pekerjaan di Amerika.
“Waktu itu saya pernah di wawancara pekerjaan ya, waktu itu saya bilang, boleh saya kerja dengan syarat. Saya punya syarat, satu shalat lima waktu dan kebetulan saya pakai hijab, dan di sini untuk perusahaan besar, kebetulan perusahaan yang saya kerja saat itu adalah bahwa mereka harus menerima semua agama istilahnya tidak rasis ya, tidak diskriminasi, jadi mereka mengerti,” ucap Wita.
Zainab Arrain mengatakan, peraturan mengenai penggunaan pakaian keagamaan di tempat kerja harus diakomodasi. Jika ada perusahaan yang melarang pemakaian hijab, Zainab menganjurkan untuk mencari bantuan hukum.
“Menurut saya sangat penting untuk meminta bantuan hukum jika secara jelas dikatakan bahwa pelamar kerja tidak diterima karena memakai hijab. Karena hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap agama. Jadi saya menganjurkan (mereka) untuk menghubungi CAIR atau organisasi yang bisa membantu mereka,” jelas Zainab.
Sehubungan dengan bulan Ramadan, Wita mengaku lebih senang berpuasa di Amerika jika dibandingkan dengan di Indonesia, karena ia merasa bisa lebih fokus beribadah. Udara panas dan panjangnya waktu berpuasa yang mencapai 16 jam lebih di Maryland tidak membuatnya patah semangat.
Selain itu, dengan adanya masjid Indonesia, IMAAM Center, di Maryland juga membuatnya lebih produktif dalam beribadah, di mana setiap malam selalu ada tarawih berjamaah dan kegiatan yang beragam selama bulan Ramadan.
“Kalau di Indonesia sebentar-sebentar buka puasa di mana, ketemu orang-orang, shalatnya mungkin buru-buru. Kalau di (Amerika) enggak. Buat saya nikmat sekali di sini,” pungkas Wita.