Ekonomi menjadi sektor yang langsung dihantam oleh pandemi, dengan dampak lanjutan seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Di sebagian keluarga, kondisi ini menjadi akar persoalan internal yang bahkan bisa berujung perceraian.
Biro Konsultasi Keluarga Sakinah (BIKKSA) milih Aisyiyah - organisasi otonom perempuan Muhammadiyah - menangani begitu banyak kasus sepanjang pandemi ini. Di Jawa Tengah saja, tercatat ada setidaknya 100 kasus yang harus mereka selesaikan. Lintal Muna dari Pengurus Wilayah Aisyiyah Jawa Tengah memberi contoh bagaimana penurunan bisnis mebel di Jepara langsung menaikkan angka perceraian.
“Karena dengan adanya pandemi COVID-19 berdampak pada pekerja, di antaranya di pabrik-pabrik. Banyak pabrik tutup, pekerja dirumahkan sehingga banyak PHK. Pernah kejadian pada bulan-bulan April, Mei, Juni 2020, di daerah Jepara banyak ibu minta cerai gara-gara suaminya di-PHK,” kata Lintal Muna.
Dalam kondisi masyarakat semacam itulah, Aisyiyah melalui BIKKSA berupaya meningkatkan layanannya. Di Jawa Tengah, pandemi mendorong mereka melebarkan layanan hingga kini setiap kabupatan atau kota yang berjumlah 35 daerah, telah memiliki pusat layanan lokal.
Dalam kajian Majelis Tabligh PP Aisyiyah dan PP Muhammadiyah, Jumat (26/3), Lintal Muna menyusun sepuluh persoalan paling dominan yang dikonsultasikan masyarakat. Masalah pertama dikelompokkan sebagai pola pengasuhan anak, kedua problem komunikasi dan ketiga konflik suami-istri yang diwarnai perselingkuhan juga kerap muncul di Jawa Tengah.
Kelompok persoalan keempat adalah rasa ketakutan, pesimisme dan stress terhadap COVID-19 sendiri. Sistem sekolah daring menjadi kelompok persoalan kelima yang cukup dominan.
“Sekolah daring, anak-anak kalau tidak ditunggui hasilnya tidak bagus. Tetapi anaknya sendiri sekolah daring jadi ogah-ogahan, yang mendengarkan penjelasan guru dan mengerjakan tugas sekolah malah orang tuanya. Akhirnya anaknya diciwel (dicubit -red),” ujar Lintal Muna.
Selain itu, ada juga masalah keuangan, kesehatan, pelecehan seksual yang dipicu oleh bebasnya anak-anak dalam mengakses internet melalui gawai, pengetahuan agama rendah karena banyak pengajian tutup dan dampak negatif lain dari pemakaian gawai oleh anak-anak yang cenderung tidak mengenal waktu.
Dari kelompok masalah itu, Lintal Muna memberi contoh beberapa kasus di lapangan di masa pandemi ini. Kasus-kasus itu seperti tersendatnya pernikahan di Kabupaten Sragen karena terganjal kepercayaan lokal. Juga ada kasus kakek menghamili cucunya sendiri di Boyolali, naiknya kasus perselingkuhan dan ketidakjujuran antara suami-istri, hingga kasus perjodohan dalam pernikahan yang ditolak.
“Bahkan ada kasus di Surakarta, ada istri tidak mau digauli oleh suaminya karena uang belanjanya kurang. Mereka konsultasinya di BIKKSA Surakarta,” lanjut Lintal Muna.
Persepsi dan Adaptasi
Psikolog Diana Setiyawati berharap masyarakat mau mengakses layanan konseling lebih dini jika merasa ada persoalan di lingkup keluarga. Sikap seperti ini tidak mudah, karena ada sebagian masyarakat menganggap persoalan keluarga adalah aib dan karena itu tidak selayaknya diceritakan ke pihak lain.
Diana adalah psikolog dari Central for Public Mental Health (CPMH), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
“Makanya sangat baik kalau psikolog itu ada di puskesmas, karena sistemnya sudah jelas dan mengkoordinir desa-desa di bawahnya, jadi bisa menyediakan kader yang bisa reach out masyarakat,” kata Diana ketika dihubungi VOA.
Adanya layanan konsultasi oleh lembaga-lembaga nirlaba disambut baik oleh Diana. Setidaknya, mereka bisa memberikan konseling awal dan merekomendasikan langkah lanjutan jika persoalannya tidak dapat diatasi. Apalagi, Diana mengingatkan, jumlah psikolog sampai saat ini masih terbatas.
Your browser doesn’t support HTML5
Di sisi lain, Diana mengingatkan pemerintah, persoalan ini tidak bisa diselesaikan dari satu sisi saja. Masalah keluarga sebagai dampak pandemi, juga butuh penyelesaian dari ekonomi, seperti adanya lapangan kerja, kebutuhan pokok terpenuhi, hingga selesainya problem sekolah daring yang bagi sebagian keluarga sampai saat ini belum terpecahkan.
Menghadapi keterbatasan itu, jauh lebih penting jika pasangan suami-istri di keluarga melakukan dua sikap menghadapi pandemi. Sikap pertama adalah mengubah persepsi terhadap apa yang sekarang ini terjadi. Sangat penting untuk melihat semua dampak pandemi dari sisi positif, sehingga bisa dijadikan dasar untuk membangun harapan positif juga.
Sikap kedua adalah beradaptasi. Generasi yang saat ini ada, tidak memiliki pengalaman bagaimana menghadapi pandemi, bahkan para pakar berbagai bidang ilmu sekalipun. Karena itu, setiap orang harus mau beradaptasi, karena bisa saja kehidupan tidak akan kembali dalam bentuk yang sudah dijalani sebelum ini.
“Sehingga, dari pada kita mengeluhkan keadaan, lebih baik kita berusaha untuk beradaptasi dengan apa yang ada, dan berusaha dengan segala daya upaya untuk kreatif menyesuaikan diri,” lanjut Diana.
Keluarga, tambah Diana, adalah tulang punggung ketangguhan dalam menghadapi pandemi. Sebagian yang tidak adaptif akan menghadapi banyak masalah, tetapi sebagian lain justru bisa melihat adanya peluang, misalnya membuat bisnis keluarga yang baru setelah terkena PHK. Idealnya memang pemerintah mempersiapkan setiap pasangan yang akan menikah agar siap menghadapi kondisi berat ke depan. Namun, pandemi sudah terjadi, jadi yang bisa dilakukan setiap pasangan adalah belajar dengan cepat.
Dua kunci dalam menghadapi pandemi, kata Diana, adalah spiritualitas dan literasi. Spiritualitas menyangkut bagaimana sikap batin dalam menghadapi apa yang terjadi. Umat beragama disarankan untuk belajar mengambil hikmah dari pandemi ini.
“Mengapa kita harus menjadi bagian sejarah ini? Jawaban itu diambil dari spiritualitas masing-masing. Sehingga membuat kita mampu berpikir positif,” ujarnya.
Namun, literasi juga penting untuk menciptakan sikap positif itu. Memahami COVID-19, bagaimana penyebarannya, bagaimana menghindarinya, bagaimana bertindak ketika terpapar, kemudian bagaimana mengatasi dampaknya, seperti di sektor ekonomi, adalah bagian dari literasi yang harus dilakukan setiap keluarga. [ns/as/ah]