Sejumlah organisasi perempuan dan penggiat kampanye anti-kawin anak, luar biasa berang saat mendapati beredarnya selebaran yang disisipkan di dalam lipatan surat kabar KOMPAS, Selasa (9/2) di sebagian wilayah Jakarta. Selebaran ini tidak sekedar menawarkan jasa penyelenggaraan perkawinan (Wedding Organizer/WO), tetapi juga mempromosikan kawin siri, menikah pada usia muda dan poligami.
Sumber-sumber VOA di KOMPAS mengatakan selebaran itu bukan bagian dari promosi oleh surat kabar itu dan menduga selebaran diselipkan oleh pengantar koran berdasarkan pesanan pihak tertentu.
Penelusuran VOA pada situs yang disebut dalam selebaran itu dan akun media sosialnya mendapati hal yang jauh lebih mengejutkan tentang promosi pernikahan dalam beragam format dengan mengatasnamakan ajaran agama.
Pada bagian perkawinan “untuk kaum muda” di situs itu, misalnya ditulis “semua wanita Muslim ingin bertaqwa dan taat kepada Allah SWT dan suaminya. Untuk berkenan di mata Allah dan suami, Anda harus menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih.”
Lebih jauh disampaikan “jangan tunda pernikahan karena keinginan egoismu, tugasmu sebagai gadis adalah melayani kebutuhan suamimu.”
Sementara pada bagian “nikah siri” akan muncul informasi tentang manfaat nikah siri yaitu “sah di mata agama, menghindari fitnah, lebih praktis dan hemat.” Semua bagian disertai dengan ayat-ayat Al Quran yang dinilai mendukung hal itu.
Diwawancarai pada Selasa (9/2) malam, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Rita Pranawati mengatakan sudah melaporkan hal ini kepada Mabes Polri.
“Sejak siang tadi kami menerima banyak sekali pengaduan dari masyarakat, baik lewat website kami, maupun sosial media kami. Intinya masyarakat resah. Kami sudah melaporkan ke Kanit PPA (Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) di Mabes Polri. Mereka akan melakukan pengkajian dan mungkin memanggil pihak Aisha Weddings ini,” ujarnya.
Perusahaan Teknologi Raksasa Bisa Bertindak
Direktur Eksekutif Plan International Indonesia Dini Widiastuti mendukung langkah melaporkan masalah ini kepada polisi, “agar ada efek jera dan kejelasan secara hukum,” ujarnya. Namun Dini menggarisbawahi pentingnya peran sektor swasta mendukung upaya mencegah kawin anak dengan tindakan yang lebih nyata.
“Saya kira sektor swasta bisa lebih tegas. Tidak cukup hanya dengan masyarakat sipil, komunitas dan pemerintah. Sektor swasta dalam hal ini perusahaan-perusahaan teknologi raksasa bisa juga berperan menyudahi kawin anak ini. Saya tahu ada beberapa teman yang sudah melapor ke Facebook,” tambahnya. Ia juga menilai perusahaan-perusahaan teknologi raksasa bisa bergerak lebih cepat meski tanpa laporan masyarakat.
Pendekatan Kultural
Ketua Dewan Pengurus INFID Dian Kartikasari mengatakan keberadaan situs itu dan niat mempromosikan nikah siri, perkawinan anak dan poligami merupakan “tamparan keras.”
“Saya tahu ini soal kultural, bahwa ada pihak-pihak yang masih terus menggaungkan soal-soal seperti ini lewat pendekatan budaya dan agama, meskipun mereka tahu persis sudah ada aturan hukum yang tegas dan upaya serius menyudahi praktik keji ini. Itulah sebabnya selain melaporkan pada polisi dan meminta perusahaan media sosial memblokir akun-akun seperti ini, kita harus bisa menjawab dengan pendekatan kultural juga. Kita bisa membuat konter-narasi dan menggunakan ayat lain untuk menepis kampanye yang menyesatkan itu,” tegas pejuang perempuan ini.
Aturan Hukum Saja Tak Cukup
Indonesia pada 16 September 2019 telah meratifikasi UU Perkawinan No.1/1974, khususnya pada pasal 7 tentang usia perkawinan. Putusan itu menegaskan bahwa batas usia kawin 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki adalah diskriminasi, dan karenanya menaikkan batas usia kawin bagi perempuan menjadi 19 tahun.
BACA JUGA: Pertarungan Agama dan Negara: 100 Tahun Perjuangan Pencegahan Kawin AnakIndonesia juga telah memiliki UU Perlindungan Anak, UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan juga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sedang didorong untuk segera disahkan, yang bersama-sama diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas dan sekaligus melindungi sumber daya manusia Indonesia, terutama kaum perempuan.
Namun fenomena untuk menantang aturan-aturan hukum itu terus berjalan, dan perebakan pandemi virus corona ikut memberi peluang terus terjadinya perkawinan di bawah umur dan praktik-praktik lain yang merugikan perempuan.
Dialektika
Diwawancarai secara terpisah, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Diah Pitaloka mengatakan tetap optimis masyarakat Indonesia sudah memiliki perspektif yang terbuka dan siap menjawab persoalan-persoalan seperti keberadaan situs yang mendorong perkawinan dini, nikah siri dan poligami ini.
“Saya memang terkejut dan kecewa, di tengah semangat untuk mengurangi perkawinan dini anak-anak kita, masih ada yang mengimbau untuk menikah pada usia 12-21 tahun tanpa mempertimbangkan kesehatan reproduksi perempuan," paparnya.
"Tapi saya juga optimis masyarakat kita sudah memiliki kesadaran tentang pentingnya mencegah kawin anak. Jadi saya pikir yang akan terjadi nanti adalah dialektika di ruang sosial kita. Akan ada kelompok konservatif yang membela pandangan situs itu, tapi akan ada pula menantang pandangan mereka,” imbuh Diah Pitaloka.
Plan International Indonesia berencana mengundang seluruh unsur masyarakat untuk membahas isu ini pada hari Rabu (10/2) dan mengambil langkah yang lebih strategis menghadapi isu serupa di kemudian hari.
Sementara hingga laporan ini ditulis, upaya VOA menghubungi Aisha Weddings untuk dimintai keterangan belum membuahkan hasil. [em/jm]