Tekanan internasional dan dalam negeri semakin meningkat terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk segera menetapkan tujuan akhir yang strategis bagi perang Israel-Hamas yang akan mengaitkan keuntungan militer Israel dengan solusi politik bagi daerah kantong Palestina itu.
Dalam teguran publik yang paling keras terhadap Netanyahu, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant memberikan pidato di televisi pada hari Rabu, mendesak perdana menteri untuk membuat “keputusan sulit” mengenai Gaza pascaperang, apa pun risiko politiknya. Gallant memperingatkan Israel bahwa tidak adanya tindakan apa pun akan mengikis keuntungan perang dan mempertaruhkan keamanan jangka panjang negara tersebut.
Gallant mengkritik Netanyahu karena kurangnya rencana pascaperang untuk menggantikan kekuasaan Hamas.
“Sejak Oktober lalu, saya telah mengangkat masalah ini secara konsisten di Kabinet dan tidak mendapat tanggapan,” katanya.
Komentar Gallant menggemakan pernyataan sebelumnya dari penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan, yang mengatakan kepada wartawan hari Senin (13/5) bahwa Israel belum “menghubungkan operasi militer mereka” dengan rencana politik tentang siapa yang akan memerintah wilayah Palestina usai pertempuran berakhir.
BACA JUGA: Menhan Israel Katakan Lebih Banyak Pasukan akan Dikirim ke RafahMenteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengulangi pesan tersebut pada hari Rabu (15/5), dengan mengatakan Israel memerlukan “rencana yang jelas dan konkrit” untuk masa depan Gaza guna menghindari kekosongan kekuasaan yang dapat diisi dengan kekacauan.
Gallant mengesampingkan segala bentuk pemerintahan Israel di Gaza pascaperang, dengan mengatakan bahwa wilayah tersebut harus dipimpin oleh “entitas Palestina” dengan dukungan internasional, sebuah posisi yang telah lama didukung oleh pemerintahan Biden.
Pemerintahan (Biden) tidak mengonfirmasi apakah pihaknya mengoordinasikan pernyataan Menhan Gallant dengan pernyataan para pejabat tinggi AS.
"Saya tidak akan berbicara mengenai waktunya. Saya tidak akan memberikan analisis mengenai hal ini," kata sekretaris pers Gedung Putih Karine Jean-Pierre ketika menjawab pertanyaan VOA dalam pengarahannya kepada media, Kamis (16/5).
“Kami sudah menyampaikan maksud kami,” tambahnya, menggarisbawahi pembicaraan yang sedang berlangsung dengan pemerintah Israel.
Seorang pejabat senior pemerintah yang berbicara tanpa menyebut nama untuk membahas masalah-masalah sensitif mengatakan bahwa pemerintah mempunyai kekhawatiran yang sama dengan Gallant bahwa Israel belum mengembangkan rencana untuk menguasai dan mengatur wilayah yang telah dibersihkan oleh Pasukan Pertahanan Israel, sehingga memungkinkan Hamas untuk melakukan regenerasi di wilayah tersebut.
“Tujuan kami adalah melihat Hamas dikalahkan,” kata pejabat itu dalam sebuah pernyataan yang dikirimkan kepada VOA.
Netanyahu masih fokus untuk hancurkan Hamas
Netanyahu berpendapat bahwa perencanaan pascaperang (di Gaza) tidak mungkin dilakukan tanpa terlebih dahulu menghancurkan Hamas.
Meskipun pemerintahnya dan Washington sepakat bahwa Hamas tidak dapat terus memerintah Gaza, mereka berbeda pendapat mengenai siapa yang harus memimpin setelah perang yang dimulai dengan serangan lintas batas kelompok militan tersebut terhadap Israel pada 7 Oktober.
“Kami tidak mendukung dan tidak akan mendukung pendudukan Israel,” tegas Menlu Blinken pada Rabu (15/5).
Pernyataan Gallant mencerminkan komentar para pejabat Israel dan mantan pejabat Israel serta rasa frustrasi masyarakat Israel yang lelah dengan perang, kata Mairav Zonszein, analis senior Israel-Palestina di International Crisis Group.
“Ini tidak mengherankan. Ini bukan hal baru,” katanya kepada VOA. “Tetapi saya pikir hal ini mencapai titik perubahan bagi orang-orang tertentu di pemerintahan, karena kesepakatan penyanderaan dan gencatan senjata menemui jalan buntu karena tidak ada keputusan yang diambil mengenai berapa lama lagi perang ini akan berlangsung.”
Netanyahu mengatakan kepada wartawan pada Kamis bahwa dia berencana memanggil menteri pertahanannya untuk “berbicara” menyusul kritik publik dari Gallant.
Kemungkinan gencatan senjata semakin tipis
Sementara itu, prospek kesepakatan gencatan senjata tampak suram sejak perundingan di Kairo gagal pada awal bulan ini.
“Setiap upaya atau kesepakatan harus menjamin gencatan senjata permanen, penarikan menyeluruh dari seluruh Jalur Gaza, kesepakatan pertukaran tahanan yang nyata, pemulangan pengungsi, rekonstruksi dan pencabutan blokade,” kata ketua Hamas Ismail Haniyeh pada Rabu.
Israel sejauh ini menolak memberikan komitmen apa pun untuk mengakhiri kampanye militernya di Gaza. Jadi pada dasarnya, tujuan akhir strategis dari pihak-pihak yang bertikai adalah “hampir saling berjauhan,” kata Nimrod Goren, peneliti senior urusan Israel di Middle East Institute.
Para mediator – Amerika Serikat, Mesir dan Qatar – tidak melihat adanya jalan keluar saat ini, kata Goren kepada VOA, bahkan ketika mencapai kesepakatan gencatan senjata “menjadi lebih mendesak, bukan hanya karena Gaza, tetapi juga karena Lebanon. "
Pengeboman lintas batas antara Israel dan Hizbullah, kelompok lain yang didukung Iran, telah meningkat sejak kampanye Israel di Gaza, menyebabkan puluhan ribu orang mengungsi di sepanjang perbatasan Israel dengan Lebanon.
Meskipun gencatan senjata yang komprehensif dan permanen mungkin tidak dapat dicapai pada saat ini, masih ada harapan untuk mencapai tahap pertama dari perjanjian gencatan senjata yang saat ini disusun dalam tiga tahap, kata Goren.
Sederhananya, hal ini berarti (masih ada harapan bagi) jeda pertempuran selama enam minggu, pertukaran sandera yang ditahan oleh Hamas dengan tahanan Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel, dan peningkatan bantuan kemanusiaan yang mengalir ke Gaza.
Namun, gencatan senjata jangka panjang tampaknya tidak dapat dilaksanakan sejak perundingan dimulai.
“Hanya ada tuntutan yang saling eksklusif (bertentangan dari kedua pihak),” kata Zonszein. “Hamas menginginkan diakhirinya perang dan penarikan penuh pasukan [Israel], sementara Israel tidak bersedia melakukan hal itu.”
BACA JUGA: Bantuan Kemanusiaan Mengalir ke Gaza melalui Dermaga Terapung BaruIsrael juga ingin Hamas dibubarkan sepenuhnya dan para pemimpinnya dibunuh, sementara Haniyeh pada Rabu menyatakan bahwa ia akan menolak usulan apa pun yang mengecualikan peran kelompok itu di Gaza pascaperang.
AS masih terus mencari solusi 2 negara
Meski prospeknya suram, pemerintahan Biden tetap memperhatikan cakrawala politik jangka panjang: solusi dua negara – pembentukan negara Palestina merdeka bersama Israel.
Sullivan melakukan perjalanan ke Arab Saudi akhir pekan ini untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut mengenai pencapaian perjanjian besar yang akan membuat Riyadh membangun hubungan diplomatik dengan Tel Aviv, sebuah elemen kunci untuk mencapai solusi dua negara.
Normalisasi dengan kerajaan Sunni terkemuka kemungkinan akan mengarah pada pengakuan diplomatik terhadap Israel dari negara-negara Arab lainnya dan negara-negara mayoritas Muslim di belahan dunia lain.
Pada saat yang sama, Sullivan akan mendesak Israel untuk menahan diri dari invasi darat besar-besaran ke Rafah, tempat lebih dari satu juta pengungsi Palestina berlindung. Washington yakin operasi yang lebih luas di Rafah akan mengancam kesepakatan normalisasi dengan Saudi.
“Keamanan jangka panjang Israel bergantung pada integrasi ke dalam kawasan dan menikmati hubungan normal dengan negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi,” kata Sullivan, Senin.
Dia mengatakan dia akan bertemu dengan para pejabat Israel "dalam hitungan hari" dan mengisyaratkan bahwa AS memperkirakan (pasukan) Israel tidak akan memasuki Rafah sampai saat itu tiba.
Pekan lalu, IDF meluncurkan apa yang mereka sebut sebagai “operasi yang ditargetkan” di Rafah timur, bahkan ketika pemerintahan Biden mengumumkan akan menghentikan pengiriman 3.500 bom berukuran besar karena takut Israel akan menggunakannya di kota padat penduduk tersebut. [pp/ft]
Natasha Mozgovaya berkontribusi pada laporan ini.