Maraknya media sosial dan pandemi COVID-19 yang berkepanjangan membuat banyak orang menjalin pertemanan virtual, tanpa memperhitungkan jarak geografis. Fenomena yang umumnya terjadi di kalangan generasi milenial dan generasi Z ini dimanfaatkan sejumlah pihak sebagai peluang bisnis. Layanan pertemanan virtual pun bermunculan untuk mengusir kesepian atau sekedar menawarkan perasaan nyaman. Namun, ada risiko yang mesti dicermati pengguna jasa ini.
Illala Ridya Indriyani termasuk yang menangkap peluang bisnis teman virtual. Akrab dipanggil Altha, mahasiswa Yogyakarta ini mengaku, ia tidak mengira persoalan pribadi yang dihadapinya menjadi peluang bisnis yang menguntungkan.
Altha mengatakan, ia dulu menjalin pertemanan virtual dengan seseorang. Mereka acap berkomunikasi via telepon menjelang tidur. Setelah pertemanan itu putus, ia kesulitan tidur dan merasa kebiasaan menelpon itulah yang menjadi penyebabnya. Pendek kata, ia tidak bisa tidur sebelum tenggelam dalam pembicaraan telepon.
Iseng-iseng, temannya mengusulkan agar ia membuka layanan sleep call. Tujuannya untuk membantu orang yang kesulitan tidur dan kesepian. Semula ia tak menanggapi usulan itu, tapi setelah melihat-lihat media sosial seperti Facebook, TikTok dan Instagram, layanan itu ternyata cukup banyak ditawarkan.
Lewat akun Instagram, urvirtual.needs, sejak awal tahun 2021, ia membuka layanan sleep call. Hanya dalam hitungan hari, ia sudah mendapat puluhan pelanggan. Sampai-sampai ia merasa kewalahan. Ia pun mempekerjakan puluhan orang yang disebutnya talent dan kini mereka melayani ratusan pelanggan.
“Jumlah talent laki-laki kini 30 orang sementara yang perempuan 11 orang. Kami juga sedang sibuk mencari talent-talent baru karena ada banyak talent yang sudah sibuk sekali sehingga tidak bisa mengambil job baru,” kata Altha
Menurut Altha, rentang demografi pengguna jasanya adalah 16 hingga 35 tahun. “Anak sekolah dan anak kuliahan umumnya hanya butuh teman saja. Tapi untuk mereka yang sudah kerja, mereka butuh teman curhatan yang bisa memberi mereka solusi atau masukan terkait kerjaan atau lingkungan tempat kerja,” jelasnya.
Tidak hanya jumlah pelanggan urvitual.needs yang bertambah, tapi juga jenis layanannya.“Tidak hanya sleep call, kami juga menawarkan love call, chatting, alarm, teman cerita dan juga virtual partner. Yang tidak kami sediakan adalah video call, untuk menjamin privasi talent dan juga klien kami,” ujar Altha
Biaya tergantung waktu dan durasi layanan yang diberikan. Sleep call dari tengah malam hingga pukul 2 pagi, biayanya Rp35.000, sementara dari 11 malam hingga 2 pagi Rp55.000. Untuk love call Rp25.000 per jam; chatting Rp 30.000 per hari; dan teman virtual Rp50.000 per hari.
Sinta, bukan nama sebenarnya, mengaku, hampir setiap akhir pekan ia memanfaatkan layanan teman virtual, khususnya sleep call. Mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jakarta itu bahkan tak sungkan menyewa teman virtual seharian di hari Minggu.
“Wah kalau nggak, saya pasti kesepian. Saya orangnya tertutup. Mamah dan papah selalu sibuk. Nggak punya waktu. Saya butuh teman curhat, teman ngobrol. Kalau nggak saya nggak bisa tidur. Teman yang saya bisa cerita apa saja,” jelasnya.
Ketika ditanya apakah ia pernah merasa seperti jatuh cinta pada salah satu teman virtualnya, Sinta tidak bersedia menjawab. Ia hanya mengatakan, ia merasa seperti diistimewakan saat berbicara dengan teman virtual langganannya itu dan sempat ingin bertemu langsung.
Altha mengakui roman memang tidak jarang mewarnai jalinan pertemanan virtual. Namun, ia punya strategi untuk mencegahnya.
“Pengalaman romantis pasti ada. Klien kan bisa request untuk dijadikan teman atau pacar. Tentunya itu virtual. Untuk mengatasinya, kita tegakkan aturan agensi. Setelah menyelesaikan job mereka, nomor telepon klien harus diblokir, dan history chat dan telepon harus dihapus. Mereka juga punya kewajiban melapor pada saya apakah mereka sudah menyelesaikan job dengan baik dan sudah tidak berbincang lagi dengan klien,” kata Altha.
Maraknya pertemanan virtual tidak luput dari perhatian psikolog Azizatul Adni, pendiri Bale Psikolog, sebuah layanan konseling di Lombok Timur. Lulusan Universitas Padjajaran Bandung, yang akrab dipanggil Adni ini mengatakan, perkembangan ini muncul karena memang ada permintaan.
“Pada dasarnya ini memenuhi kebutuhan dasar manusia. Sebagai manusia kita membutuhkan interaksi. Dulu, secara tradisional kita melakukan interaksi secara langsung. Seiring berjalannya waktu, teknologi memberi kita dukungan untuk menjalin hubungan dengan orang yang secara geografis tidak dekat dengan kita,” tuturnya.
Interaksi dengan orang yang berjauhan itu memiliki manfaat positif. Seseorang bisa mempelajari budaya baru atau melihat berbagai hal dengan perspektif yang berbeda. Namun, Adni mengingatkan ada juga risiko yang mesti diperhitungkan ketika menjalin pertemanan virtual.
Your browser doesn’t support HTML5
Ia mengatakan, seorang teman virtual seringkali menyembunyikan kepribadian yang sesungguhnya karena memang tidak eksis secara kasat mata. Jika punya niat buruk, katanya, ini bisa membahayakan. Seseorang bisa juga menjadi lebih terbuka kepada teman virtual ketimbang teman sesungguhnya. Pendek kata, ia bisa mengungkapkan segala sesuatu apa adanya karena teman virtual pada prinsipnya tidak ada di hadapannya dan pada akhirnya bisa menjadi pihak yang mudah dipermainkan teman virtual.
“Sebaiknya setting boundaries. Kenali kebutuhannya apa. Kalau kemudian mengarah ke perilaku yang tidak sehat, ada baiknya mengakses layanan profesional terkait kondisi psikologis kita,” katanya.
Bagaimana kaitan sleep call dengan gangguan tidur? Adni mengatakan, sejauh ini masih belum ada penelitian yang berfokus pada manfaat klinis dari sleep call. Sebagai psikolog profesional, ia tidak dapat merekomendasikan layanan tersebut untuk orang-orang yang memiliki masalah tidur. Ia mengaku, bahwa ia belum pernah merawat pasien dengan memanfaatkan sleep call sebagai metode terapi. "Hingga saat ini belum ada perhatian khusus yang diberikan terkait dengan fenomena sleep call," ujarnya. [ab/uh]