Setelah Perang Dunia II, beberapa tentara asal Korea dan Jepang memutuskan untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satu yang menonjol perannya adalah Yang Chil Sung, tentara Korea yang kemudian mengganti namanya menjadi Komarudin, dan dia bergabung dengan Pasukan Pangeran Papak pimpinan Mayor S.M. Kosasih.
Dia menolak diberi pangkat dan lebih suka berperan sebagai instruktur, mengingat mereka memiliki pengalaman militer berharga. Dia melakukan pelatihan militer, strategi perang dan juga terlibat dalam pertempuran melawan pasukan Belanda.
Your browser doesn’t support HTML5
Kemudian setelah Perjanjian Renville, di mana pasukan Republik hijrah ke Yogyakarta, Mayor Kosasih memerintahkan sebagian pasukannya, termasuk para tentara internasional itu bertugas di daerah Wanareja, Garut yang hendak dikuasai Belanda. Mereka membentuk apa yang disebut Markas Besar Gunung Galunggung. Keberadaan satuan ini sangat mengganggu Belanda dan maksud Belanda untuk menguasai daerah Garut.
Hendi Jo, sejarawan yang meneliti cuplikan sejarah ini, mengatakan, “Yang sangat terkenal penyerangan yang dia lakukan adalah ketika mereka menghancurkan jembatan Cinunuk dengan kekuatan demolisi yang dipimpin oleh Komarudin di Garut itu. Nah, ini membuat pasukan Belanda sangat marah dengan penghancuran itu karena mereka tidak bisa menguasai wilayah Wanareja yang menjadi basis kekuatan pro Republik pada saat itu. “
Selain itu satuan ini sering melakukan operasi gerilya berupa hit and run atau serang dan lari dan mengganggu posisi pasukan Belanda di Garut. Namun lewat sebuah operasi intelijen dan buru sergap, Komarudin bersama rekan-rekannya kemudian berhasil ditangkap. Pada 1949 Komarudin atau Yang Chil Sung dan dua tentara Jepang dikenakan hukuman mati dengan eksekusi.
Pada 21 Mei 1949 dini hari eksekusi ini dilakukan di Kerkhof Garut di pinggir sungai Cimanuk. “Sebelum dieksekusi mati mereka minta dikenakan baju untuk sholat, itu baju putih dengan sarung berwarna merah, jadi mereka seolah-olah ingin mengatakan bahwa kami sudah merah putih gitu. Dan ketika mereka ditembak mereka mengatakan secara bersama-sama ‘Merdeka',” imbuhnya.
Berkat temuan sejarah ini kemudian Hendi Jo bersama beberapa pihak lain memprakarsai usaha untuk mengabadikan salah satu jalan di Garut dengan nama pahlawan Korea ini.
“Saya bersama komunitas historika Indonesia dan bersama masyarakat Garut juga kemudian mengajukan kepada pemerintah kota Garut untuk menjadikan orang Korea ini sebagai nama jalan dan alhamdulilah, itu sudah terwujud, mulai 10 November tahun 2023 ada sebuah nama jalan yang namanya jalan Komarudin alias Yang Chil Sung,” jelas hendy Jo.
Namun pada tingkat internasional, terutama dari sudut pandang masyarakat Korea, penetapan tentara Korea ini sebagai pahlawan masih merupakan hal yang kontroversial.
Bae Dong Sun, peneliti Korea mengingatkan bahwa bangsa Korea masih memendam luka dari masa penjajahan Jepang yang sampai kini belum terselesaikan.“Makanya separuhnya orang Korea merasa itu mereka hebat sampai mereka ikut perang perjuangan. Dan separuh orangnya pasti pikir mereka itu sebenarnya bantu Jepang,” komentarnya.
Hendi Jo merencanakan untuk menerbitkan sebuah buku berjudul: "Mereka yang Bertahan: Kisah Orang-orang Jepang dan Korea dalam Revolusi Indonesia di Garut, 1946-1949" yang akan menelusuri secara lebih mendalam kisah sejarah perjuangan yang unik ini. [jm/ka]