150 Terpidana Mati di Sri Lanka Lakukan Mogok Makan

Para terpidana mati melakukan aksi protes di penjara Welikada di Kolombo, Sri Lanka, dengan memegang spanduk dari atap penjara, Jumat, 25 Juni 2021. (AP Photo/Eranga Jayawardena)

Sekitar 150 terpidana mati di Sri Lanka mulai mogok makan untuk menuntut agar hukuman mereka diringankan, kata para pejabat penjara, setelah presiden negara itu memberi grasi kepada seorang mantan legislator yang dinyatakan bersalah atas pembunuhan terkait pemilu.

Pembebasan mengejutkan pada hari Kamis (24/6) setelah ia diampuni oleh Presiden Gotabhaya Rajapaksa itu menuai kritik luas, termasuk dari kantor HAM PBB dan duta besar AS di Sri Lanka.

Polisi dan petugas penjara Sri Lanka mengawal mantan anggota parlemen Duminda Silva setelah dia dijatuhi hukuman mati, di sebuah kompleks pengadilan di Kolombo, Sri Lanka, Kamis, 8 September 2016. (AP)

Duminda Silva dianggap luas sebagai favorit keluarga Rajapaksa yang berkuasa di Sri Lanka dan telah dijatuhi hukuman mati atas pembunuhan seorang legislator rivalnya dari partainya sendiri, dalam serangan terkait pemilu sekitar 10 tahun silam.

"Sekitar 150 narapidana yang dijatuhi hukuman mati melakukan aksi mogok, menuntut agar hukuman mereka diringankan menjadi hukuman penjara seumur hidup," kata Juru Bicara Penjara Chandana Ekanayake, Jumat (25/6).

Ia mengatakan para pejabat penjara sedang berdiskusi dengan Menteri Kehakiman dan para pejabat pemerintah lainnya untuk menyelesaikan masalah tersebut tetapi ia menolak memberi rincian lebih lanjut.

Penjara-penjara Sri Lanka sangat penuh sesak dengan lebih dari 26 ribu tahanan memadati fasilitas-fasilitas yang berkapasitas 10 ribu tahanan.

Kerusuhan terkait COVID-19 berkobar di sebuah penjara tahun lalu, dan sedikitnya 11 narapidana tewas dan lebih dari 100 cedera sewaktu penjaga penjara melepaskan tembakan untuk mengendalikan kerusuhan. Pembebasan Silva yang mengejutkan itu tampaknya merupakan pemicu aksi mogok narapidana.

Kantor HAM PBB menyatakan kasus Silva “merupakan contoh lain pemberian ampunan yang selektif dan sewenang-wenang yang melemahkan supremasi hukum dan merusak akuntabilitas.”

Duta Besar AS Alaina B Teplitz dalam cuitan hari Kamis (24/6) mengatakan pemberian ampun bagi Silva “merongrong supremasi hukum.”

Sri Lanka belum menggantung seorang pun narapidana sejak 1976 meskipun pengadilan secara rutin menjatuhkan hukuman mati. Pendahulu Rajapaksa, Maithripala Sirisena, telah bertekad akan mengakhiri moratorium mengenai hukuman mati dan menggunakan hukuman itu terhadap mereka yang divonis bersalah atas kejahatan narkoba.

Para pejabat penjara merekrut dua algojo untuk melakukan hukuman gantung, tetapi tidak satupun hukuman yang dilaksanakan selama masa jabatan Sirisena. [uh/ab]