Thailand minggu ini mencabut peraturan darurat di beberapa wilayah selatan yang bergejolak, di mana pemberontakan yang terjadi selama dua dekade terakhir telah merenggut ribuan nyawa. Para pengecam mengatakan tindakan darurat itu telah menyebabkan merajalelanya pelanggaran HAM.
Negara yang mayoritas penduduknya beragama Budha itu telah memberlakukan peraturan darurat di tiga provinsi paling selatan sejak tahun 2005, setahun setelah gelombang aksi kekerasan oleh kelompok-kelompok pemberontak berkobar. Etnis Muslim-Melayu merupakan mayoritas di provinsi-provinsi di wilayah selatan itu.
Peraturan darurat yang diberlakukan pemerintah Thailand saat itu memperbolehkan aparat keamanan menahan tersangka tanpa dakwaan hingga 30 hari dan memberikan kekebalan hukum kepada personel keamanan dari penuntutan atas tindakan apapun yang dilakukan saat bertugas. Peraturan darurat itu juga memberi wewenang luas pada pemerintah untuk menyensor berita.
Hukum darurat militer dan UU Keamanan Dalam Negeri, yang juga memberi wewenang tambahan kepada pasukan keamanan, juga diberlakukan di provinsi-provinsi di selatan itu.
BACA JUGA: Penembakan di Mal Thailand Munculkan Kembali Debat Pengawasan SenjataDalam beberapa tahun terakhir, Thailand telah mencabut keputusan darurat di 10 distrik. Juru bicara pemerintah Rudklao Intawong Suwankiri mengatakan kepada VOA, pemerintah mengeluarkan resolusi untuk mencabut keputusan darurat di tiga kabupaten lagi, satu di setiap provinsi, dalam pertemuan hari Senin (16/10). Ditambahkannya, pemerintah mengambil langkah itu karena dalam beberapa tahun tahun terakhir serangan di daerah-daerah itu telah turun tajam.
Menurut Deep South Watch, suatu kelompok kajian independen, lebih dari 7.300 orang tewas dan 13.600 lainnya luka-luka dalam pertempuran yang terjadi sejak tahun 2004. Meskipun demikian jumlah insiden kekerasan di provinsi-provinsi itu dalam sepuluh tahun terakhir terus menurun, dari 1.850 kasus pada tahun 2012 menjadi 158 kasus pada tahun 2022 lalu. [em/rd]