Thailand pada Kamis (21/12) selangkah lagi akan menjadi negara Asia Tenggara pertama yang mengakui pernikahan sesama jenis setelah sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang akan mengubah hukum yang berlaku saat ini, lolos pembahasan tahap pertama.
Kemajuan itu memicu komentar dari Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin yang mengatakan dia yakin cinta "akhirnya akan menang."
Empat RUU kesetaraan pernikahan dibahas oleh Dewan Perwakilan yang terpilih di parlemen Thailand. Keempatnya lolos dengan suara 360-10 dan maju ke dua pembahasan berikutnya. Salah satu dari empat RUU itu kemungkinan besar akan dipilih untuk mendapatkan persetujuan kerajaan yang merupakan langkah terakhir agar sebuah RUU bisa disahkan menjadi undang-undang.
Jika sejumlah RUU itu disahkan dan mendapat persetujuan kerajaan, Thailand bisa segera bergabung dengan Nepal dan Taiwan menjadi satu di antara segelintir pemerintah di Asia yang menyetujui pernikahan sesama jenis.
Persatuan yang jarang terjadi
Untuk meloloskan sejumlah RUU itu, para politisi Thailand menunjukkan persatuan yang jarang terjadi. RUU tersebut setuju untuk mengesahkan pernikahan sesama jenis dengan menghapuskan ketentuan bahwa pernikahan sah adalah yang terjadi antara “laki-laki” dan “perempuan.” Sebagai gantinya, pernikahan dianggap sah sebagai persatuan antara “individu”.
"Kita akhirnya berada di jalan untuk menjembatani kesenjangan kesetaraan hak untuk semuanya hari ini!" kata Perdana Menteri Srettha melalui cuitan di X setelah pemungutan suara.
"Selamat untuk komunitas LGBTQIA+ atas lolosnya RUU Pernikahan Sesama Jenis pada pembahasan pertama. Semoga cinta akhirnya menang."
Upaya meloloskan pernikahan sesama jenis memberi kemenangan penting dalam kebijakan sosial bagi koalisi yang didominasi Partai Pheu Thai. Setelah pemilihan umum (pemilu) pada Mei lalu, partai itu membuat marah jutaan pemilih muda dan progresif karena bersekutu dengan mantan saingannya yang konservatif untuk mengambil alih pemerintahan.
Permintaan maaf resmi
Thailand telah lama dipandang sebagai surga di Asia bagi kelompok LGBTQ dengan komunitas gay dan transgender yang dinamis, menyambut pengunjung dari seluruh dunia.
Kerajaan itu berharap bisa terpilih menjadi tuan rumah penyelenggaraan pawai hak-hak LGBTQ, World Pride, pada 2028.
Para aktivis LGBTQ menyambut baik terobosan itu. Namun, mereka mengatakan momentum yang tampaknya tidak dapat diubah di balik pernikahan sesama jenis sudah terlambat.
"Jika RUU itu disahkan, kami akan menganggap sebagai permintaan maaf resmi dari negara yang sudah lama merenggut hak-hak kami, martabat kami," kata Waddao Chumaporn, aktivis LGBTQ terkemuka, yang berbicara di hadapan parlemen sebelum pembahasan dimulai.
"Permintaan maaf ini seperti jaminan bagi anak-anak muda LGBTQ, keluarga mereka dan siapa saja yang ingin tinggal di negara ini dengan hak-hak yang setara."
Berdasarkan Undang-Undang Pernikahan Thailand yang berlaku saat ini, pasangan sesama jenis tidak memiliki pengakuan hukum, termasuk mengalihkan warisan jika salah satu pasangan meninggal serta berbagi tunjangan layanan kesehatan.
BACA JUGA: Kabinet Thailand Setujui RUU Kesetaraan PernikahanPara pendukungnya bersikukuh undang-undang finalnya harus mencakup kesetaraan hak.
"Tidak ada alasan mengapa kita tidak boleh memiliki keluarga yang bermartabat seperti semua manusia," kata Anticha Sangchai, dosen pada Fakultas Ilmu Pembelajaran dan Pendidikan, di Universitas Thammasat kepada VOA.
"Untuk kali ini hal ini melampaui politik… cepat atau lambat, Anda harus memberikan hak yang sama kepada semua orang," kata Anticha, yang mengidentifikasi dirinya sebagai biseksual dan ingin menikahi pasangannya segera setelah undang-undang berubah. Anticha dan pasangannya sudah menjalin hubungan selama empat tahun.
Bagi legislator LGBTQ yang gagal meloloskan RUU itu menjadi undang-undang sejak 2020, kemajuan itu adalah lompatan besar dalam perjalanan panjang menuju kesetaraan di kerajaan di mana nilai-nilai konservatif membentuk undang-undang, meski budaya makin terbuka.
"Ini untuk pertama kalinya dalam sejarah Thai ketika semua pihak bersatu," kata Thanyawat Kamonwongwat kepada VOA. Kamonwongwat adalah seorang transgender dan satu dari empat anggota Partai Move Forward yang membantu isu kesetaraan pernikahan menjadi topik debat umum.
"Perubahan sedang terjadi. Kita akan beralih dari masyarakat di mana anak-anak transgender melakukan bunuh diri setelah dirundung, menjadi masyarakat yang mana seorang transgender dapat mengambil peran dalam pengambilan keputusan." [ft/ah]