Dua wartawan menghadapi tuntutan pidana di Thailand karena menerbitkan laporan mengenai dugaan keterlibatan pasukan keamanan Thailand dalam memperjualbelikan Muslim Rohingya dari Myanmar.
BANGKOK —
Artikel itu aslinya ditulis oleh kantor berita Reuters, yang minggu ini memenangkan penghargaan Pulitzer untuk laporan internasional berkat liputannya mengenai Rohingya.
Reporter Thailand, Chutima Sidasathian dan editor Australia, Alan Morison menghadapi tuntutan yang diajukan Angkatan Laut Kerajaan Thailand, dengan dakwaan pencemaran nama dan pelanggaran Undang-Undang Kejahatan Komputer Thailand yang keras.
Keduanya telah lama melaporkan penderitaan kaum Rohingya untuk media online Phuketwan. Mantan editor suratkabar di Melbourne, Australia, Morison, mendirikan situs itu lebih dari 5 tahun lalu.
Morison mengatakan, dakwaan-dakwaan itu dipertanyakan dan tampaknya menarget Chutima yang telah membantu wartawan Reuters dan reporter-reporter lain dalam menulis artikel itu.
"Saya tidak meragukan itu. Saya yakin, kenyataan bahwa Chutima telah membantu mengungkap laporan mengenai warga Rohingya ke organisasi-organisasi internasional, merupakan salah satu alasan penuntutan itu. Dia adalah orang yang seorang diri mengungkap kisah itu, sehingga menarik perhatian media internasional,” ujar Morison,
Bulan Juli lalu, Chutima dan Morison memuat sebuah berita yang mengutip materi-materi dari Reuters, yang menuduh bagaimana pasukan keamanan tertentu dari angkatan laut Thailand bekerja secara sistematis dengan para penyelundup, untuk mencari keuntungan di tengah-tengah meningkat tajamnya jumlah warga Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar.
Pecahnya konflik etnis di Myanmar dalam beberapa tahun terakhir ini membuat ribuan warga Rohingya, etnik minoritas yang tidak diakui kewarganegaraannya di Myanmar, melarikan diri dari negara itu, kebanyakan dengan perahu.
Kantor berita Reuters minggu ini memenangkan penghargaan Pulitzer untuk serangkaian artikelnya yang menulis dengan detil perjuangan warga Rohingya yang meninggalkan Myanmar dan mengungsi ke luar negeri.
Laporan itu menuduh Angkatan Laut polisi Thailand bekerjasama dengan para pedagang manusia untuk mengirim warga Rohingya ke kamp-kamp primitif di hutan, sampai keluarga mereka membayar uang tebusan.
Morison menyebut, dakwaan terhadapnya dan rekannya “palsu” dan “sangat bercacat.’ Sementara memuji kantor berita Reuters atas penghargaan yang diperolehnya, ia mengatakan, kantor berita itu tidak memberikan dukungan kepada Phuketwan dalam kasus itu.
Reuters yang bermarkas di London tidak memberi komentar atas tuduhan terhadap kedua wartawan itu. Angkatan Laut Kerajaan Thailand tidak mengajukan tuntutan terhadap Reuters.
Pada tahun 2014, Indeks Kebebasan Pers Dunia yang dikeluarkan Wartawan Tanpa Tapal Batas menempatkan Thailand pada urutan 130 dari 180 negara.
Reporter Thailand, Chutima Sidasathian dan editor Australia, Alan Morison menghadapi tuntutan yang diajukan Angkatan Laut Kerajaan Thailand, dengan dakwaan pencemaran nama dan pelanggaran Undang-Undang Kejahatan Komputer Thailand yang keras.
Keduanya telah lama melaporkan penderitaan kaum Rohingya untuk media online Phuketwan. Mantan editor suratkabar di Melbourne, Australia, Morison, mendirikan situs itu lebih dari 5 tahun lalu.
Morison mengatakan, dakwaan-dakwaan itu dipertanyakan dan tampaknya menarget Chutima yang telah membantu wartawan Reuters dan reporter-reporter lain dalam menulis artikel itu.
"Saya tidak meragukan itu. Saya yakin, kenyataan bahwa Chutima telah membantu mengungkap laporan mengenai warga Rohingya ke organisasi-organisasi internasional, merupakan salah satu alasan penuntutan itu. Dia adalah orang yang seorang diri mengungkap kisah itu, sehingga menarik perhatian media internasional,” ujar Morison,
Bulan Juli lalu, Chutima dan Morison memuat sebuah berita yang mengutip materi-materi dari Reuters, yang menuduh bagaimana pasukan keamanan tertentu dari angkatan laut Thailand bekerja secara sistematis dengan para penyelundup, untuk mencari keuntungan di tengah-tengah meningkat tajamnya jumlah warga Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar.
Pecahnya konflik etnis di Myanmar dalam beberapa tahun terakhir ini membuat ribuan warga Rohingya, etnik minoritas yang tidak diakui kewarganegaraannya di Myanmar, melarikan diri dari negara itu, kebanyakan dengan perahu.
Kantor berita Reuters minggu ini memenangkan penghargaan Pulitzer untuk serangkaian artikelnya yang menulis dengan detil perjuangan warga Rohingya yang meninggalkan Myanmar dan mengungsi ke luar negeri.
Laporan itu menuduh Angkatan Laut polisi Thailand bekerjasama dengan para pedagang manusia untuk mengirim warga Rohingya ke kamp-kamp primitif di hutan, sampai keluarga mereka membayar uang tebusan.
Morison menyebut, dakwaan terhadapnya dan rekannya “palsu” dan “sangat bercacat.’ Sementara memuji kantor berita Reuters atas penghargaan yang diperolehnya, ia mengatakan, kantor berita itu tidak memberikan dukungan kepada Phuketwan dalam kasus itu.
Reuters yang bermarkas di London tidak memberi komentar atas tuduhan terhadap kedua wartawan itu. Angkatan Laut Kerajaan Thailand tidak mengajukan tuntutan terhadap Reuters.
Pada tahun 2014, Indeks Kebebasan Pers Dunia yang dikeluarkan Wartawan Tanpa Tapal Batas menempatkan Thailand pada urutan 130 dari 180 negara.