Peluncuran film dokumenter “The Social Dilemma” 23 September mungkin terasa ganjil. Bagaimana tidak? Ketika pandemi virus corona membuat hampir semua orang menjadi lebih tergantung pada piranti-piranti – termasuk media sosial – untuk tetap dapat berhubungan dengan banyak orang, film dokumenter ini justru menunjukkan bahwa pandemi bukan satu-satunya mimpi buruk yang dihadapi warga.
Sutradara Jeff Orlowski mengatakan film ini dibuat untuk menjelaskan bagaimana telepon pintar, algoritma yang menarik perhatian, ruang-ruang yang terpolarisasi dan hasrat mengejar keuntungan membuat para pengguna terpapar cara-cara yang dapat menimbulkan ancaman pada demokrasi Amerika.
“Kapitalisme industri mengubah sumber daya mentah untuk didayagunakan dan meraih profit. Dalam model bisnis ini, manusia diubah menjadi sumber daya mentah yang dapat didayagunakan dan diubah menjadi profit. Itu sebabnya mereka mengumpulkan data tentang kita karena data memberi model yang lebih baik,” ujarnya dalam wawancara dengan kantor berita Associated Press baru-baru ini.
Diskursus tentang media sosial modern sebagai kekuatan jahat yang telah menghipnotis warga untuk menggulirkan informasi-informasi yang mengganggu tanpa memikirkan dampaknya, informasi yang memupuk perpecahan, dan mengangkat kelompok dan ideologi yang sebelumnya terpinggirkan dengan cara-cara yang merusak kohesi sosial, sebenarnya bukan hal baru. Selama beberapa tahun terakhir ini, diskursus ini menjadi topik utama di Silicon Valley. Tentunya di tingkat individu, bukan perusahaan. Hal ini menjadi artikel-artikel berita, studi akademis, dan buku.
Sebagian pakar teknik dan eksekutif perusahaan-perusahaan teknologi bahkan melarang anak-anak mereka sendiri menggunakan telepon pintar dan media sosial. Sebagian lainnya berhenti dari pekerjaan yang bergaji besar di perusahaan-perusahaan itu dibanding terus berkontribusi pada masalah yang mereka yakini disebabkan oleh perusahaan mereka sendiri.
Mantan Eksekutif Perusahaan Teknologi Raksasa Sampaikan Pandangan
“The Social Dilemma” merupakan hasil akhir proyek selama tiga tahun yang memotret masalah yang sangat rumit itu supaya mudah dipahami oleh warga yang tidak terlalu memahami teknologi, dan mungkin memotivasi mereka untuk mengambil tindakan guna mencegah konsekuensi yang lebih buruk.
Your browser doesn’t support HTML5
Film ini menyatukan pandangan dari para mantan eksekutif Facebook, Google, YouTube, Twitter, Instagram dan Pinterest. Film fiksi ini menghadirkan latar belakang keluarga yang kecanduan layar yang dipenuhi konten manipulatif, yang algoritmanya dibuat oleh aktor Vincent Kartheiser. Vincent dikenal luas publik ketika memerankan tokoh Pete Campbell dalam serial televisi “Mad Men.”
Tristan Harris, mantan eksekutif Google yang menjadi pemeran utama film ini, mengatakan ia berharap “The Social Dilemma” dapat menyadarkan masyarakat sebagaimana buku “Unsafe At Any Speed” karya Ralph Nader, yang mendorong kesadaran hukum tentang sabuk pengaman, atau film dokumenter Al Gore tahun 2006 “An Inconvenient Truth” yang mempertajam fokus pada perubahan iklim akibat gas rumah kaca yang dihasilkan manusia
“Manusia menjadi lebih berharga ketika mereka sudah kecanduan, teralihkan, terpolarisasi, tidak mendapat informasi yang benar dan marah; dibandingkan ketika mereka sekadar menjadi manusia, atau warga negara. Itulah sebabnya kita harus mengubah bentuk model bisnis ini,” ujar Harris. Ditambahkannya, “tiap-tiap kata sifat itu – kecanduan, teralihkan, terpolarisasi, terusik perhatiannya, marah dan tidak mendapat informasi yang benar – akan terus meningkat dalam waktu lebih lama, dibanding sistem itu sendiri.”
Harris, yang kini menjadi presiden Center for Humane Technology, membagi rasa kecewa yang dirasakannya ketika ia masih bekerja di Google, dan juga hal-hal lain yang menarik perhatian sutradara Orlowski. Keduanya pernah bertemu ketika sama-sama kuliah di Universitas Stanford, yang memuluskan jalan untuk bersatu kembali dalam film yang mereka sama-sama nilai penting untuk diselesaikan sebelum pilpres 3 November. [em/jm]