Relokasi mandiri menjadi pilihan masyarakat nelayan Teluk Palu agar lokasi tempat tinggal yang baru tidak jauh dari laut yang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Gempa bumi dan Tsunami pada 2018 menyebabkan zona sempadan pantai rawan tsunami minimal 100 hingga 200 meter dari titik pasang tertinggi ditetapkan sebagai zona terlarang untuk pemukiman masyarakat yang harus direlokasi.
Rabu siang, 5 Februari 2020, puluhan warga penyintas bencana alam tsunami 2018 di kelurahan Mamboro Barat, Palu Utara, Kota Palu, Sulawesi Tengah, berkumpul menyaksikan kegiatan peletakan batu pertama tanda dimulainya pembangunan hunian tetap rumah panggung RISHA untuk 36 keluarga nelayan oleh Yayasan Arsitek Komunitas (ARKOM) Palu.
BACA JUGA: Perempuan Penyintas Bencana di Sulteng Desak Pemenuhan Hak atas Tempat Tinggal yang Layak dan AmanBagi warga yang umumnya berprofesi sebagai nelayan, pembangunan hunian tetap dengan konsep relokasi mandiri memenuhi harapan masyarakat yang tidak ingin dipindahkan ke tempat baru yang jauh dari laut.
Emilia (44) kepada VOA mengatakan hunian tetap yang akan dibangun itu berada di lokasi lahan yang di pilih oleh warga, lokasinya sekitar 500 meter dari tepi pantai. Dengan jarak itu maka hunian sudah berada di luar zona rawan bencana (ZRB) yang ditetapkan pemerintah pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami tahun 2018 silam. Di zona merah yaitu sempadan pantai rawan tsunami minimal 100 hingga 200 meter dari titik pasang tertinggi, masyarakat dilarang untuk membangun kembali fungsi hunian. Unit hunian pada zona terlarang itu direkomendaksikan untuk direlokasi.
“Rono ikan yang mau dijemur itu biasa datang jam satu malam, jam tiga malam, jadi kalau kita ditempatkan di Tondo sana kan jauh dari laut, jadi kalau malam itu mau ke tempat pencahariannya kita itu setengah mati, karena itu kami lebih memilih relokasi mandiri, karena ini hanya sekitar 500 meter dari tempat tinggal kami sebelumnya” jelas Emilia yang kehilangan rumahnya akibat terjangan tsunami.
Muhammad Cora dari Arsitek Komunitas (ARKOM) Palu mengatakan dalam relokasi mandiri warga secara berkelompok menentukan dan menyediakan sendiri lahan pemukiman di luar zona merah sekira 400 meter dari pesisir. Menurutnya relokasi mandiri dapat menjadi solusi atas kendala keterbatasan lahan relokasi yang mudah dijangkau dalam zona aman. Hal ini juga memenuhi keinginan para nelayan yang enggan direlokasi ke tempat yang jauh dari pesisir pantai yang telah ditetapkan sebagai zona merah.
“Karena secara faktual data di lapangan memang banyak warga yang memilih ingin relokasi di luar area kampungnya yang masuk dalam ZRB (zona rawan bencana) itu pindah tapi tidak jauh-jauh dari kampung asalnya,” kata Cora.
Cora menjelaskan lahan yang disiapkan untuk pembangunan 36 hunian itu seluas 4.800 meter persegi di mana pihaknya menalangi lebih dahulu biaya pembelian lahan. Warga penyintas sepakat untuk mengangsur biaya pembelian lahan itu senilai 270 ribu perbulan selama lima tahun.
Rata-rata setiap keluarga mendapatkan lahan seluas delapan kali sepuluh meter persegi. 70 persen diperuntukkan untuk hunian, sedangkan 30 persen adalah tempat terbuka atau untuk pekarangan. Arkom Palu menargetkan pembangunan hunian itu dapat rampung pada bulan Mei mendatang.
Walikota Palu, Hidayat mengatakan pemerintah akan membantu agar setelah hunian tetap itu selesai dibangun, memiliki akses jalan, listrik dan air bersih. Hidayat mengakui relokasi mandiri yang diinisiasi oleh Arkom Palu itu sangat membantu bagi pemenuhan tempat tinggal dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi Sulawesi Tengah khususnya Kota Palu pasca bencana alam 2018.
“Saya berupaya semaksimal mungkin, ini kita sudah syukur sudah dibantu yayasan ini, artinya untuk jalan ini tadi kita sudah bicarakan dengan kepala dinas PU bisa,” kata Hidayat.
Walikota Palu itu menjelaskan setidaknya ada tiga skema dalam pembangunan hunian tetap yaitu di lahan yang disiapkan pemerintah kota Palu seperti pembangunan 1.500 unit kelurahan Tondo Talise oleh yayasan kemanusiaan Buddha Tzu Chi, dan 250 unit hunian tetap juga akan dibangun di kelurahan Duyu oleh Kementerian PUPR.
Pemerintah juga menyiapkan skema kedua yaitu pembangunan hunian tetap satelit di suatu kawasan yang dapat didirikan setidaknya 50 unit rumah diatas lahan yang disiapkan oleh masyarakat. Sedangkan skema ketiga adalah pembangunan hunian tetap di lahan milik warga dengan syarat harus sudah memiliki akses jalan, listrik dan air. [yl/lt]