Amerika Serikat yang memiliki jumlah populasi terbesar ketiga di dunia, dikenal sebagai tempat pertemuan budaya yang beraneka ragam, termasuk budaya kesenian Indonesia.
Salah satu instrumen dalam kesenian Indonesia, seperti gamelan, ini banyak dipelajari di berbagai institusi dan universitas ternama Amerika, seperti Wesleyan, University of California, Berkeley, Cornell, Yale, dan Harvard. Andrew McGraw, dosen Etnomusikologi di University of Richmond, Virginia, bahkan menyebut, “gamelan menjadi satu tanda atau simbol eksklusif” dari sebuah kampus di Amerika.
Tidak mengherankan kini semakin banyak warga Amerika yang bukan keturunan Indonesia, mahir bermain gamelan, pandai menarikan tarian tradisional Indonesia, bisa menyanyi keroncong, atau bahkan menyinden.
Keunikan Vokal Sinden
Seniman, sekaligus guru musik dan vokal asal Amerika, Megan Colleen O’Donoghue di Santa Cruz, California adalah salah satunya. Sejak mengenal gamelan Jawa saat kuliah di Cornish College of the Arts di Seattle, Amerika Serikat, Megan jatuh cinta dengan kebudayaan Indonesia.
“Sebenarnya saya ambil jurusan lagu seriosa, tetapi ada gamelan dan saya jadi tertarik sekali, terus saya gabung di sana,” cerita Megan yang sangat fasih berbahasa Indonesia, kepada VOA belum lama ini.
Setelah lulus kuliah, tahun 2008 Megan meraih beasiswa Darmasiswa dari pemerintah Indonesia, untuk mempelajari karawitan, khususnya kesenian sinden Jawa, di Institut Seni Indonesia di Surakarta, Jawa Tengah. Megan mengaku terpukau akan keunikan suara vokal sinden.
“Tekniknya kok nggak seperti yang aku pernah dengar. Kalau aku dengar agak seperti suara hidung, pertama kali. Karena saya suka sekali belajar teknik vokal, kalau saya dengar suara baru saya pasti penasaran. Saya dengar suara sinden langsung, ‘wow, ini kok beda dari yang lain,’” ujar penggemar gado-gado dan pecel ini.
Setelah terjun lebih dalam ke dunia sinden, ia berkesempatan memamerkan kemahirannya dengan mengadakan pementasan bersama kelompok wayang lokal di berbagai acara, bahkan sempat tampil di layar kaca.
“Beruntung sekali dulu saya kemana-mana di Indonesia. Ke Kalimantan, Sumatra, pasti ke Jawa, ya, karena tinggalnya di sana. Tapi di Jawa Timur yang paling ramai. Di Bali, Jakarta, ya keliling terus pokoknya,” kenang penyanyi yang pernah berkolaborasi dengan penyanyi legendaris Titiek Puspa dan kelompok Sheila on 7 ini.
Selama lima tahun tinggal di Indonesia, perempuan kelahiran tahun 1984 ini menggunakan kesempatan tersebut untuk juga mendalami kesenian wayang dan gamelan.
“Saya orangnya penasaran. Kalau saya tertarik dengan sesuatu, saya pasti mau masuk sampai dalam ya. Jadi saya orangnya totalitas banget. Mungkin karena benar-benar beda, dengan budaya saya. Kalau sudah mencicip nggak bisa berhenti, kalau sudah belajar tentang budaya Indonesia, semua orang pasti langsung jatuh cinta, itu otomatis menurut saya,” ujar penggemar lagu-lagu dangdut dari Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih ini.
Menurut Megan, kesenian Indonesia, khususnya Jawa, memiliki keunikan tersendiri.
“Halus sekali. Ada arti tapi sangat dalam. Kalau menurut saya tidak lebay begitu, loh. Tapi kehalusannya dalam banget," katanya
Ikut pentas keliling membuatnya lebih banyak belajar mengenai tradisi adat Jawa. Salah satu yang paling berkesan adalah ketika mengikuti ritual adat Malam 1 Suro, yang menurutnya “sangat menarik.”
Dangdut Koplo "Bikin Goyang"
Alunan musik karawitan membuat Andrea Decker jatuh cinta seketika dengan Indonesia dan kebudayaannya. Kecintaannya berlanjut saat ia melakukan penelitian mengenai musik popular Indonesia, hingga pada akhirnya pada tahun 2017 ia langsung berkunjung ke Surabaya. Siapa yang menyangka jika irama musik dangdut lantas memikatnya.
“Saya betul-betul jatuh cinta dengan musik dangdut, karena beberapa hal. Kalau dangdut klasik, saya tertarik dengan cengkoknya dan cara bernyanyi. Itu menurut saya susah sekali. Kalau dangdut koplo, saya suka iramanya, itu enak bikin goyang,” jelas penyanyi yang tengah menyelesaikan studi S3-nya di University of California di Riverside, California, AS ini, kepada VOA.
Selama satu tahun tinggal di Indonesia, Andrea kerap berkeliling untuk bernyanyi bersama kelompok dangdut Koplo, sambil melakukan penelitian di beberapa stasiun televisi di Indonesia.
Selain dangdut, Andrea juga belajar bermain gamelan dan menyinden, yang menurutnya lebih cocok dengan suaranya. Ia bahkan sempat tampil di berbagai acara untuk menunjukkan kebolehannya dalam bernyanyi.
Jika disuruh memilih, Andrea mengaku lebih menikmati suasana acara dangdut, yang menurutnya lebih santai. Terlebih lagi ketika melihat orang-orang yang bergoyang mengikuti irama dangdut dan “mendengar musik itu dengan seluruh jiwa.”
“Saya tahu, tentu saja ada sedikit stigma tentang dangdut, bahwa itu musik kampungan. Tapi menurut saya, itu musik yang unik dan hebat, yang perlu keterampilan yang luar biasa. Karena itu seharusnya masyarakat Indonesia bangga pada musik itu,” ujar Andrea yang juga fasih berbahasa Indonesia.
Kecintaannya pada budaya Indonesia berlanjut setelah ia kembali ke Amerika, di mana ia bergabung dengan kelompok gamelan Jawa di kampusnya. Ia bahkan kerap mengajarkannya kepada para mahasiswa lain.
Bangkitkan Keroncong di Amerika
Yang juga berhasil menarik perhatian warga Amerika adalah musik keroncong, yang kini ditekuni oleh Hannah Standiford, mahasiswa S3 jurusan Etnomusikologi di universitas Pittsburgh di Amerika Serikat.
Semua ini berawal ketika ia mendapat beasiswa Darmasiswa dari pemerintah Indonesia untuk mendalami gamelan di Institut Seni Indonesia di Solo, tahun 2014 lalu. Namun, alunan musik keroncong berhasil memenangkan hatinya.
“Waktu itu saya tahu tentan keroncong, tapi belum mengalami langsung. Dan saya datang ke satu latihan, dan semua duduk lesehan, santai dan musiknya enak sekali. Dan saya paling suka mungkin Langgeng Jawa keroncong,” jelas Hannah.
Tantangan, ujar Hannah, adalah saat mempelajari pelafalan bahasa Jawa dan cengkok keroncong yang unik.
“Yang paling susah yaitu bahasa Jowo, karena saya belum lancar bahasa Jowo, jadi untuk pronounciation masih susah dan cengkoknya masih lebih susah daripada cengkok keroncong asli, Langgeng keroncong,” kenang penggemar penyanyi keroncong legendaris Waldjinah dan Endah Laras ini.
Sekembalinya ke Amerika, Hannah lalu mengajak teman-temannya yang adalah warga lokal Amerika, untuk membentuk kelompok Orkes Keroncong Rumput, yang kerap tampil berbagai kota.
“Kami mencampur musik rakyat Amerika, musik rakyat Inggris, juga dengan musik keroncong. Kami suka mencampur gaya-gaya,” kata Hannah yang dulu juga pernah belajar menajadi sinden.
Namun, karena pandemi COVID-19, seluruh latihan dan acara dilakukan secara daring. Mereka bahkan mengajak para seniman di Indonesia untuk berkolaborasi dengan mereka melalui video.
Your browser doesn’t support HTML5
“Orang Indonesia Sangat Ramah”
Indonesia telah meninggalkan kesan yang begitu dalam di hati ketiga seniman ini.
“Di Indonesia orang sangat baik, tidak usah buru-buru, selalu ada waktu untuk ngobrol, untuk membantu,” ujar Hannah.
“Di Indonesia, di mana pun orang-orang pasti ramah sekali. Hospitality-nya sangat bagus, disuruh makan, disuruh istirahat. Pokoknya orang Indonesia sangat ramah sekali,” kata Megan.
“Saya sangat ingin kembali ke Indonesia supaya bisa nongkrong lagi bersama teman-teman sekampung,” ucap Andrea.
Alunan musik tradisional yang berbeda memang telah berhasil memikat para seniman asal Amerika ini. Namun, pada akhirnya, kebudayaan dan keramahan warganyalah yang telah membuat mereka jatuh cinta pada Indonesia. [di/em]