Meski Komite Olimpiade telah sangat ketat menjalankan tes, dalam dua hari pelaksanaan Olimpiade telah ada tiga kasus doping.
Dua atlet mendapati impiannya mendapatkan medali Olimpiade terhempas pada Minggu (19/7) setelah diskors dari kompetisi karena menggunakan obat-obatan untuk meningkatkan performa. Kasus ini menjadikan jumlah atlet yang menggunakan doping mencapai tiga dalam dua hari pelaksanaan Olimpiade London.
Karena Komite Olimpiade Internasional (IOC) sangat bersemangat menghilangkan doping dari kompetisi, para penguji sangat giat melakukan tes acak dan tes target selama berbulan-bulan untuk memastikan bahwa perhelatan olahraga yang berlangsung pada 27 Juli-12 Agustus itu tidak akan ternodai kasus-kasus “high profile.”
Pelari sprint dari St Kitts dan Nevis, Tameka Williams, menjadi korban terakhir pada Minggu setelah mengakui pada pengurus timnya bahwa ia telah menggunakan substansi terlarang, sehingga ia dipulangkan beberapa hari sebelum pertandingan.
Panitia Olimpiade dari negaranya mengatakan bahwa Williams yang berusia 22 tahun, dan seharusnya bertanding dalam nomor 100 dan 200 meter pada Olimpiade pertamanya itu, secara sukarela memberi informasi yang dapat membuat hukumannya berkurang atau malah tidak ada sama sekali tergantung situasi.
“Pada diskusi dengan pengelola tim, Williams secara sukarela memberi informasi bahwa ia telah menggunakan bahan yang tidak termasuk dalam daftar kode obat-obatan yang diterima secara internasional yang dimiliki Komite Olimpiade,” ujar Komite Olimpade St. Kitts danNevis, seperti dikutip kantor berita Reuters.
Komite tersebut, yang telah menginformasikan semua lembaga terkait dan juga meluncurkan penyelidikan, tidak memberikan detil mengenai substansi yang dipakai atau situasi saat pemakaian oleh atlet tersebut.
Sebelumnya pada Minggu, pesenam Uzbekistan satu-satunya yang ikut dalam Olimpiade, Luiza Galiulina, untuk sementara diskors karena hasil tes pertamanya positif untuk Furosemida, obat yang sering untuk menutupi substansi terlarang lainnya.
Galiulina, 20, yang seharusnya bertanding pada Minggu, sekarang ini sedang menunggu hasil tes kedua. Jika hasilnya positif, ia akan dilarang bertanding di Olimpiade London dan dapat menghadapi larangan bertanding dua tahun sebagai pengguna doping untuk pertama kalinya.
Furosemida, yang sering dijual dengan merek Lasix, dapat digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi, gagal jantung atau pembengkakan jantung karena tubuh menyimpan terlalu banyak cairan.
Selama Olimpiade London berlangsung, target IOC adalah melakukan 5.000 tes, yang terdiri dari 3.800 tes urine dan 1.200 tes darah.
Sebuah inisiatif dari lembaga-lembaga anti-doping di seluruh dunia menunjukkan ada 100 atlet yang berbuat curang sebelum Olimpiade berlangsung, seiring usaha IOC untuk menghindari skandal-skandal doping yang besar yang mengguncang Olimpiade sebelumnya dan menenggelamkan kompetisi-kompetisi tersebut.
Kasus kecurangan pertama terjadi Sabtu (28/7) lalu, beberapa jam setelah upacara pembukaan, saat atlet angkat besi dari Albania, Hysen Pulaku, dikeluarkan dari pertandingan karena menggunakan steroid anabolik.
Hasil tes atlet berusia 19 tahun yang seharusnya bertanding dalam kelas 77 kilogram laki-laki itu menunjukkan positif untuk senyawa Stanozolol dan sekarang menghadapi skors dua tahun.
Sanksi atau skors dikeluarkan oleh federasi olahraga yang bersangkutan.
Toleransi nol IOC untuk obat terlarang tidak hanya dimaksudkan untuk memproyeksikan citra Olimpiade yang bersih, namun juga untuk melindungi para pengiklan, sponsor dan peliput yang membayar ratusan juta dolar untuk diasosiasikan dengan perhelatan olahraga terbesar itu.
Ada 20 kasus doping yang terbukti pada Olimpiade Beijing empat tahun lalu, termasuk enam kuda. Jumlah kasus ini turun dari 26 kasus di Athena pada 2004. (Reuters/ Karolos Grohmann)
Karena Komite Olimpiade Internasional (IOC) sangat bersemangat menghilangkan doping dari kompetisi, para penguji sangat giat melakukan tes acak dan tes target selama berbulan-bulan untuk memastikan bahwa perhelatan olahraga yang berlangsung pada 27 Juli-12 Agustus itu tidak akan ternodai kasus-kasus “high profile.”
Pelari sprint dari St Kitts dan Nevis, Tameka Williams, menjadi korban terakhir pada Minggu setelah mengakui pada pengurus timnya bahwa ia telah menggunakan substansi terlarang, sehingga ia dipulangkan beberapa hari sebelum pertandingan.
Panitia Olimpiade dari negaranya mengatakan bahwa Williams yang berusia 22 tahun, dan seharusnya bertanding dalam nomor 100 dan 200 meter pada Olimpiade pertamanya itu, secara sukarela memberi informasi yang dapat membuat hukumannya berkurang atau malah tidak ada sama sekali tergantung situasi.
“Pada diskusi dengan pengelola tim, Williams secara sukarela memberi informasi bahwa ia telah menggunakan bahan yang tidak termasuk dalam daftar kode obat-obatan yang diterima secara internasional yang dimiliki Komite Olimpiade,” ujar Komite Olimpade St. Kitts danNevis, seperti dikutip kantor berita Reuters.
Komite tersebut, yang telah menginformasikan semua lembaga terkait dan juga meluncurkan penyelidikan, tidak memberikan detil mengenai substansi yang dipakai atau situasi saat pemakaian oleh atlet tersebut.
Sebelumnya pada Minggu, pesenam Uzbekistan satu-satunya yang ikut dalam Olimpiade, Luiza Galiulina, untuk sementara diskors karena hasil tes pertamanya positif untuk Furosemida, obat yang sering untuk menutupi substansi terlarang lainnya.
Galiulina, 20, yang seharusnya bertanding pada Minggu, sekarang ini sedang menunggu hasil tes kedua. Jika hasilnya positif, ia akan dilarang bertanding di Olimpiade London dan dapat menghadapi larangan bertanding dua tahun sebagai pengguna doping untuk pertama kalinya.
Furosemida, yang sering dijual dengan merek Lasix, dapat digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi, gagal jantung atau pembengkakan jantung karena tubuh menyimpan terlalu banyak cairan.
Selama Olimpiade London berlangsung, target IOC adalah melakukan 5.000 tes, yang terdiri dari 3.800 tes urine dan 1.200 tes darah.
Sebuah inisiatif dari lembaga-lembaga anti-doping di seluruh dunia menunjukkan ada 100 atlet yang berbuat curang sebelum Olimpiade berlangsung, seiring usaha IOC untuk menghindari skandal-skandal doping yang besar yang mengguncang Olimpiade sebelumnya dan menenggelamkan kompetisi-kompetisi tersebut.
Kasus kecurangan pertama terjadi Sabtu (28/7) lalu, beberapa jam setelah upacara pembukaan, saat atlet angkat besi dari Albania, Hysen Pulaku, dikeluarkan dari pertandingan karena menggunakan steroid anabolik.
Hasil tes atlet berusia 19 tahun yang seharusnya bertanding dalam kelas 77 kilogram laki-laki itu menunjukkan positif untuk senyawa Stanozolol dan sekarang menghadapi skors dua tahun.
Sanksi atau skors dikeluarkan oleh federasi olahraga yang bersangkutan.
Toleransi nol IOC untuk obat terlarang tidak hanya dimaksudkan untuk memproyeksikan citra Olimpiade yang bersih, namun juga untuk melindungi para pengiklan, sponsor dan peliput yang membayar ratusan juta dolar untuk diasosiasikan dengan perhelatan olahraga terbesar itu.
Ada 20 kasus doping yang terbukti pada Olimpiade Beijing empat tahun lalu, termasuk enam kuda. Jumlah kasus ini turun dari 26 kasus di Athena pada 2004. (Reuters/ Karolos Grohmann)