Perempuan masih jadi kelompok rentan kekerasan seksual di Indonesia. Survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menunjukkan, satu dari tiga perempuan berusia 15 – 64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual.
Namun ada kelompok lain yang juga rentan, kata Rika Rosvianti, pendiri komunitas perEMPUan.
“Kerentanan itu kan macam-macam. Ada yang karena jenis kelaminnya, kelas sosialnya, domisilinya, orientasi seksualnya, disabilitasnya. Atau juga ada hal-hal lain, misalnya dia menjadi minoritas karena kepercayaan atau sukunya,” ujarnya kepada VOA.
Rika menjelaskan, semakin banyak identitas minoritas yang seseorang miliki, semakin rentan ia mengalami kekerasan seksual. Misalnya, perempuan dari agama minoritas. Hal itu disebut ‘multiple jeopardy’.
Sayangnya, ketika jadi korban kekerasan seksual, para korban ini justru lebih sulit saat melapor ke polisi. Para korban malah disalahkan karena identitasnya.
“Kalau misalnya dia minoritas keagamaan atau seksualitas, itu ketika mengurus pun akan dipertanyakan. Mungkin kamu mendapat pelecehan ini karena identitasnya nggak jelas atau agamanya bukan agama Islam,” jelas perempuan berjilbab ini.
Akibatnya, banyak korban kekerasan seksual yang enggan mencapai keadilan.
BACA JUGA: KPAI: Sanksi Tegas Harus Diterapkan atas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak“Sudah lah susah untuk memproses kasusnya, pelakunya nggak terhukum, si korban pun malah dapat victim blaming dari identitas-identitasnya itu. Dia juga mendapatkan kesulitan-kesulitan lain dalam proses pelaporannya yang juga menghabiskan energi dan dana,” ungkapnya.
Tiga Kelompok Rentan dan Terabaikan
Dalam diskusi yang digelar di Jakarta, Sabtu sore (22/6), terungkap tiga kelompok rentan yang jarang diperhatikan: disabilitas, transpuan, dan anak berhadapan dengan hukum (ABH).
Untuk disabilitas, Rika mencontohkan, banyak disabilitas intelektual jadi korban perkosaan. Para korban ada yang diperkosa sampai hamil dan akhirnya dipaksa meminum pil kontrasepsi.
Isu kekerasan seksual belum banyak diketahui oleh kelompok disabilitas, ujar Isro Ayu Permata Sari dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) Kepemudaan. Menurut perempuan tuli ini, penting memasukkan isu ini ke dalam pelajaran sekolah sesuai dengan keperluan kelompok disabilitas.
“Berharap sekali teman-teman disabilitas di usia dini bisa memahami cara mengontrol diri. Tahu mana yang baik mana yang benar. Ada praktik juga supaya kita tahu kalau kita dilecehkan bagaimana cara melawannya,” ujarnya dalam bahasa isyarat yang disampaikan oleh penerjemah.
Dengan bekal pengetahuan, disabilitas yang jadi korban bisa melawan dan menuntut keadilan.
“Saya merasakan trauma itu, apa yang harus saya lakukan. Tapi saya juga tidak mau tetap diam. Saya harus bergerak melakukan sesuatu. Saya harus tetap melakukan perlawanan,” tambah mahasiswi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera ini.
Sementara itu, kelompok transpuan atau waria juga rentan jadi korban karena ekspresinya mudah dikenali.
BACA JUGA: JKP3 Sesalkan Penyusunan RUU PKS Tidak Melibatkan Masyarakat“Kita lihat bahwa teman-teman transpuan itu kan secara ekspresi mereka sudah sangat-sangat terlihat. Mereka sangat rentan mengalami bully, ketika mereka pergi ke mana, ke pasar atau ke mall, mereka biasa disebut dengan ‘bencong, bencong’, ujaran kebencian juga sangat sering muncul,” jelas Rere dari Sanggar Swara kepada VOA.
Rere, Miss Waria 2017, mengatakan transpuan enggan menempuh jalur hukum karena polisi mengabaikan kasus-kasus mereka.
“Karena bagi mereka capek di waktu—kebanyakan teman-teman ngomong seperti itu. Paling kita mendampingi yang (mengalami) persekusi. Dan persekusi pun banyak teman-teman yang diacuhkan. (Dikatakan) Kamu ngapain malam-malam keluar. Dibalikin salah lagi sama polisi. Banyak aparat yang seolah tahu tapi diam,” jelasnya.
Sementara anak berhadapan dengan hukum (ABH) kerap mendapat perundungan dari penghuni lapas anak yang lebih tua. Tak sedikit anak jadi korban pelecehan dan kekerasan seksual selama dibina.
Tidak ada Data Khusus Kelompok Rentan
Meski kelompok-kelompok rentan ini punya banyak cerita atau laporan, belum ada data yang mengukur kekerasan seksual yang menimpa mereka. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Kemen PPPA belum menangkap kategori spesifik. Padahal data ini penting untuk membuat program pencegahan yang lebih tepat.
BACA JUGA: 29 WNI Diduga Korban “Pengantin Pesanan” di ChinaNurcahyo Budi Waskito dari United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia mengatakan pemerintah selama ini mengandalkan data-data dari berbagai organisasi.
“Data kekerasan terhadap disabilitas itu nggak ada prevalensinya. Yang ada akhirnya gimana? Pemerintah memakai kajian dari berbagai pihak. Bisa pakai HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) atau catatan Komnas Perempuan,” jelasnya usai diskusi.
Kekerasan terhadap minoritas seksual juga perlu dicatat. Meski penting memasukkan unsur itu ke dalam survei, pemerintah ujar Cahyo harus berhati-hati. “Sensitif banget isunya. Kita kan mesti berhati-hati ya jangan sampai itu jadi blunder,” ucapnya. [rt/em]