Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Moh Mahfud MD menggulirkan wacana pembentukan kembali Tim Pemburu Koruptor (TPK). Tim serupa pernah dibentuk pada 2004, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tugasnya adalah memburu koruptor yang lari keluar negeri dan menyelamatkan aset negara.
Mantan Komisioner KPK Busyro Muqoddas menyebut, ada proses yang harus dilewati pemerintah jika ide Mahfud itu akan direalisasi. Busyro menggambarkan, korupsi di Indonesia telah menjangkiti seluruh sektor, demokrasi lumpuh, tidak ada konsolidasi masyarakat sipil dan kampus gagal sebagai kekuatan moral. Pemerintah yang ingin memburu koruptor juga terjebak dalam sistem korup, sementara para pengusaha menjadi bagian jalinan spiral korupsi.
“Lalu timbul pertanyaan, problemnya kaitan dengan topik (rencana) ini, siapa memburu siapa,” kata Busyro.
Busyro Muqoddas berbicara dalam diskusi Tim Pemburu Koruptor: Urgensi, Relevansi, dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi. Diskusi digelar Selasa (28/7) oleh Pusat Studi Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Tiga Sektor Perlu Evaluasi
Agar tujuannya tercapai, lanjut Busyro, pembentukan Tim Pemburu Koruptor harus diawali dengan evaluasi di tiga sektor. Evaluasi pertama dilakukan terhadap kualitas praktik integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terintegrasi. Harus ada penilaian terhadap integritas lembaga penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan Agung, KPK dan juga lembaga lain dalam sistem ini seperti PPATK, BPK, BPKP dan Itjen Kementerian.
Evaluasi kedua penting dilakukan terhadap sumber korupsi politik, yaitu sistem yang mengaturnya. UU Parpol, UU Pemilu dan UU MD3 (undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD) harus ditinjau kembali. Ketiga, pemerintah juga harus mengevaluasi bangunan oligarki politik dan oligarki bisnis.
Your browser doesn’t support HTML5
Busyro meyakinkan, ada banyak hambatan akan ditemui jika pemerintah mengaktifkan kembali TPK. Salah satunya adalah spiral kejahatan korupsi yang terbentuk dalam sistem politik tidak sehat. Tim semacam ini juga rawan dimasuki oknum tertentu, yang justru melemahkan kinerjanya dengan menjadi pembocor rencana kerja. Hambatan lain adalah soal anggaran dan tingginya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
Jalan keluarnya, kata Busyro, justru adalah dengan menengok kembali kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Langkah pertama, adalah dengan mengembalikan KPK sebagai lembaga independen.
“Kalau mau memburu koruptor, kembalikan saja tugasnya ke KPK. Tapi dengan syarat, terbitkan Perpu pemberlakuan kembali Undang-Undang KPK yang lama, nomor 30 tahun 2002, yaitu KPK sebagai lembaga independen,” kata Busyro.
Sebagai lembaga independen, KPK bisa membentuk tim buru sergap sendiri dengan kewenangan yang istimewa. Dengan UU yang lama, terbukti KPK bisa memburu sejumlah koruptor seperti M Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti. Di luar itu, papar Busyro, masyarakat dilibatkan aktif dalam pengawasan kerja KPK. Dengan penerapan strategi itu, pemerintah tidak perlu lagi mewacanakan pengembalian TPK.
Efektivitasnya Dipertanyakan
Dosen Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Arief Setiawan juga mempertanyakan efektivitas pengaktifan kembali TPK oleh pemerintah. Selama bekerja di bawah pemerintahan SBY, TPK hanya mampu mengejar dan menangkap empat koruptor. Keempatnya adalah David Nusa Wijaya (BLBI Bank Servitia), Darmono Kalawi (korupsi di Banten), Thabrani Ismail (Pertamina), dan Jefri Baso (pembobolan Bank BNI).
Selain soal efektivitas, TPK juga bisa menjadi gangguan dalam sistem peradilan pidana yang saat ini sudah berjalan.
“Kalau kita kembali pada sistem peradilan pidana yang terpadu, munculnya ide tentang TPK ini bisa jadi akan mengganggu keterpaduan. Makin tidak terpadu sistem peradilan pidana kita, dengan memunculkan institusi yang ditempelkan pada sistem peradilan pidana,” kata Arief.
Keterpaduan yang dimaksud Arief adalah antara institusi berbeda dalam satu rangkaian pekerjaan. Ada KPK yang ada di ranah penyidikan dan penuntutan. Di luar itu, polisi berfungsi sebagai penyidik dan kejaksaan sebagai penuntut.
Selanjutnya adalah pengadilan dan berakhir di lembaga pemasyarakatan. Jika salah satu saja tidak bekerja dengan baik, sistem peradilan pidana itu tidak akan efektif.
“Bagaimana melakukan sinergi aparatur penegak hukum dan penanganan tindak pidana korupsi ini secara lebih baik, dan tidak perlu lagi ada penambahan kelembagaan yang lain, yang justru bisa mengganggu fungsi-fungsi yang ada di dalamnya,” tambah Arief.
Tantangan bagi pemerintah sekarang justru menjadikan RUU Perampasan Aset menjadi UU yang bisa berlaku. Banyak koruptor yang lari keluar negeri masih memiliki aset di Indonesia. Jika negara memiliki UU Perampasan Aset, pengadilan dapat menyita aset koruptor, meskipun dia belum tertangkap. Sayangnya, RUU yang lahir sejak 2012 ini diabaikan hingga saat ini oleh DPR dan pemerintah.
Sekurangnya Ada 40 Buronan
Berbicara dalam diskusi yang sama, peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Lalola Easter Kaban menyebut, sekurangnya ada 40 buronan yang masih bebas. Sebagian besar posisinya diketahui terakhir berada di luar negeri. Dari jumlah itu, ada satu buronan atas nama Hendra Rahardja dalam kasus BLBI, yang akhirnya meninggal dunia di Australia tanpa sempat diajukan ke persidangan.
“Jadi ini, hitungannya sudah hampir dua dekade, negara ini tidak berhasil menangkap buronan kasus korupsi yang berkeliaran baik di dalam negeri maupun di luar negeri,” kata Lalola.
Ada tiga lembaga yang bertanggung jawab memburu para buronan itu, sesuai perjalanan kasusnya. Kepolisian bertanggung jawab atas 23 buronan, kejaksaan 22 buronan dan KPK memiliki lima buronan. Khusus KPK, daftar buronannya adalah Sjamsul Nursalin, Itjih Nursalim, Harun Masiku, Samin Tan dan Izil Azhar.
Lalola juga mengatakan, wacana yang digulirkan Mahfud MD seolah bermakna negara ingin kembali menghidupkan zombie. Lembaga yang sudah mati dan terbukti tidak efektif di masa lalu, justru dibangkitkan lagi. [ns/ab]