Tim Pencari Fakta PBB Mulai Selidiki Kasus Rohingya

  • Fathiyah Wardah

Ketua TPF PBB untuk Myanmar, Marzuki Darusman (tengah), politisi Partai PKS Mahfudz Siddiq (kiri), dan anggota Kaukus HAM ASEAN Eva Sundari berbicara kepada media mengenai masalah minoritas Rohingya di Jakarta, 12 September 2017 (VOA/Fathiyah Wardah)

Ketua Tim Pencari Fakta PBB untuk Myanmar Marzuki Darusman mengatakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai menyelidiki dugaan kejahatan kemanusiaan berupa genosida terhadap etnis Rohingya oleh militer Myanmar.

Kejahatan yang dilakukan militer Myanmar terhadap minoritas muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine terus mendapat sorotan dunia internasional. Pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran desa-desa yang dihuni warga Rohingya telah memaksa sekitar 300.000 orang Rohingya mengungsi ke negara tetangga Bangladesh.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun sudah membentuk tim pencari fakta untuk menyelidiki dugaan kejahatan kemanusiaan berupa genosida yang dilakukan tentara Myanmar terhadao etnis Rohingya.

Dalam jumpa pers di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, , Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) PBB untuk Myanmar, Marzuki Darusman menjelaskan pihaknya baru memulai tugasnya sejak tiga pekan lalu. Dia menambahkan tim pencari fakta telah mengirim tim pendahulu ke Myanmar dan masih menunggu kemungkinan untuk masuk di negara-negara di sekitar Myanmar, yakni Bangladesh, Thailand, dan Malaysia.

Lebih lanjut mantan jaksa agung itu mengatakan Tim Pencari Fakta PBB tersebut dibentuk untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi terhadap etnis Rohingya dan akar persoalannya. Marzuki menegaskan tim pencari fakta bekerja dengan pikiran terbuka, tanpa prasangka, atau dengan maksud mencari celah-celah kesalahan atau yang lainnya. Tapi untuk memberi rekomendasi kepada Dewan HAM untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya

"Jadi gambaran yang ada sekarang adalah gambaran yang samasama kita miliki bahwa jelas telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Tidak mungkin suatu kelompok masyarakat yang harus meninggalkan tempat huniannya secara terpaksa tanpa sukarela, tidak mengalami pelanggaran hak asasi manusia," kata Marzuki. "Masalahnya apakah telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat, itu perbedaanya. Ini yang menjadi mandat dari TPF," ujar Marzuki.

Marzuki menambahkan kasus yang menimpa komunitas Rohingya di Myanmar dalam dua tahun terakhir bukan lagi persoalan domestik negara tersebut, meliankan masalah negara-negara sekitar. Karena itu, dia menekankan, isu Rohingya sudah menjadi masalah regional dan internasional.

Marzuki mengatakan PBB telah menangani masalah Rohingya sejak 15 tahun lalu. Dia menegaskan konflik Rohingya tahun ini mencapai titik terparah, sehingga membuat PBB memutuskan untuk membentuk tim pencari fakta. Dia menyebutkan tim pencari fakta itu diberi mandat hingga Maret tahun depan.

Marzuki menegaskan masalah Rohingya belum bisa disimpulkan apakah itu konflik agama, konflik etnis, atau yang lainnya. Sebab, akar persoalannya kompleks.

Dalam kesempatan itu, lanjut Marzuki, Tim Pencari Fakta PBB berterima kasih atas segala upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk membantu menghentikan segera kekerasan di Rakhine. Karena, menurut dia, situasi keamanan kondusif diperlukan bagi tim pencari fakta buat menyelidik konflik menahun itu dan bekerjasama dengan pemerintah Myanmar.

Mahfudz Siddiq, Politikus dari Partai Keadilan Sejahtera menilai berlarut-larutnya konflik Rohingya juga disebabkan kelemahan dari Aung San Suu Kyi sendiri, yang merupakan tokoh demokrasi dan HAM di Myanmar. Mahfudz menambahkan Penasihat Negara Aung San Suu KYi memang tidak memiliki kontrol penuh terhadap militer dan politik domestik Myanmar.

Selain itu, Mahfudz berpendapat Suu Kyi mulai terbawa oleh permainan militer dan kekuatan politik lokal. Meski begitu, dunia internasional harus terus menyokong Suu Kyi untuk mendorong perubahan di Myanmar ke arah yang lebih baik.

"Karena pemimpin proses demokrasi ada di tangan beliau (Suu Kyi) dan transisi yang tidak boleh macet ini juga kuncinya ada di beliau. Jadi terlepas dari berbagai kelemahan dan kekurangannya, kita punya kewajiban untuk mendorong, membantu beliau bagaimana bisa menjalankan transisi dan juga menjalankan rekomendasi," kata Mahfudz.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I Bidang Pertahanan dan Luar negeri DPR, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan dalam lawatannya ke Myanmar pekan lalu, dirinya melakukan pertemuan tertutup dengan Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal U MinAung Hlaing selama sekitar satu jam 20 menit. Dalam pertemuan tersebut, Retno menyampaikan beberapa hal.

"Pertama mengenai pentingnya dilakukan deeskalasi dan mengembalikan perdamaian serta stabilitas. Kedua adalah pentingnya bagi militer untuk membantu perlindungan terutama bagi warga sipil tidak berdosa, perempuan dan anak-anak," kata Retno. "Ketiga, pentingnya bagi angkatan bersenjata untuk membantu akses kemanusiaan dan kita meminta dukungan dari angkatan bersenjata bagi implementasi rekomendasi laporan Kofi Anna," tambah Retno.

Dalam pertemuan itu, Retno juga menyampaikan kepada jenderal Min bahwa hubungan baik antaran Myanmar dan Bangladesh merupakan salah satu kunci bagi penyelesaian krisis kemanusiaan di Rakhine.

Saat bertemu Suu Kyi, Retno menyampaikan proposal dari pemerintah Indonesia yang diberi nama Formula 4+1 untuk Rakhine. Pertama adalah mengembalikan perdamaian dan stabilitas. Kedua, menahan diri dan tidak menggunakan kekerasan. Ketiga, perlindungan bagi semua pihak tanpa melihat latar belakang etnis dan agama. Keempat, akses terhadap bantuan kemanusiaan.

Untuk jangka panjang, Indonesia meminta pemerintah Myanmar melaksanakan 88 rekomendasi sesuai laporan Kofi Annan.

Ketua Tim Pencari Fakta PBB untuk Myanmar Marzuki Darusman mengatakan selama 15 tahun menangani kasus Rohingya PBB sudah menunjuk empat pelapor khusus, termasuk yang terakhir Yanghee Lee dari Korea Selatan. Yanghee meminta Dewan HAM membentuk tim pencari fakta karena temuan-temuan yang dia hasilkan menunjukkan kecenderungan-kecenderungan adanya pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan fakta-fakta di lapangan.

Tetapi, tambah Marzuki, hasil temuan pelapor khusus PBB itu tidak bisa menjadi kesimpulan. Sebab itu, dibutuhkan suatu tim pencari fakta untuk meneliti lebih jauh informasi yang sudah ada dari beragam sumber, lalu turun ke lapangan untuk memverifikasi informasi-informasi tersebut.