Khawatir dengan masa depan minyak dan dengan perkembangan teknologi, TImur Tengah mulai serius menggarap pembangkit listrik tenaga surya.
ABU DHABI, UNI EMIRAT ARAB —
Menempati lahan seluas 300 lapangan sepakbola di padang pasir, proyek tenaga surya Shams 1 merupakan tonggak sejarah bagi Uni Emirat Arab.
Proyek ini akan menjadi proyek tenaga surya skala besar bagi negara kaya penghasil minyak itu saat selesai akhir tahun ini, dan terbesar di Timur Tengah. Pada kapasitas penuh, proyek tenaga surya 100 megawatt itu akan dapat memasok listrik untuk 20.000 rumah.
“Kami sangat yakin tenaga surya akan menjadi kontributor besar dalam memenuhi kebutuhan kami,” ujar Sultan Ahmed al-Jaber, Duta Khusus untuk Energi dan Perubahan Iklim di UEA dan direktur perusahaan milik pemerintah Masdar, investor terbesar untuk proyek tersebut.
“Kami bukannya seperti negara lain yang kelabakan mencari sumber listrik pelengkap,” ujar Jaber, dengan menambahkan bahwa Abu Dhabi berencana mendapatkan sumber listrik dari energi terbarukan pada 2020.
“Kami melihatnya dari sudut pandang strategis. Kami ingin menjadi pemain teknologi, bukan pemain energi.”
Dengan padang pasir yang luas dan sinar matahari yang melimpah, Timur Tengah merupakan tempat ideal untuk mengembangkan energi surya. Namun sampai saat ini, wilayah terebut belum mengembangkannya karena biayanya tiga kali lebih besar dibandingkan bahan bakar minyak (BBM) yang mendapat banyak subsidi.
Selain itu ada kesulitan regulasi dan teknologi, mengingat iklim Timur Tengah yang keras, jauh lebih panas dan berdebu dibandingkan Eropa, di mana energi surya sangat berkembang.
Namun kemajuan teknologi telah menurunkan biaya secara dramatis, dan banyak negara kaya minyak mempertimbangkan energi terbarukan di tengah meningkatnya permintaan untuk tenaga listrik untuk menyokong pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kenaikan jumlah penduduk yang cepat.
Selain itu ada juga ketakutan, terutama di Arab Saudi, bahwa sumber daya minyak yang sepertinya tidak terbatas telah berkurang dan suatu kali nanti mereka akan menjadi importir minyak. Banyak negara juga paham bahwa pendapatan dari ekspor minyak, mencapai US$90 per barrel saat ini, daripada dipakai untuk kebutuhan domestik.
Di tengah ketertarikan akan tenaga surya, negara-negara Timur Tengah mulai memiliki target ambisius terkait energi terbarukan.
Mesir dan Qatar mengatakan akan memproduksi 20 persen energinya dari sumber terbarukan masing-masing pada 2020 dan 2024. Algeria berencana memproduksi 22.000 megawatt listrik dari sumber terbarukan antara sekarang dan 2030. Arab Saudi mengumumkan target 10 persen untuk 2020 dan Kuwait 15 persen pada 2030. (AP/Michael Casey)
Proyek ini akan menjadi proyek tenaga surya skala besar bagi negara kaya penghasil minyak itu saat selesai akhir tahun ini, dan terbesar di Timur Tengah. Pada kapasitas penuh, proyek tenaga surya 100 megawatt itu akan dapat memasok listrik untuk 20.000 rumah.
“Kami sangat yakin tenaga surya akan menjadi kontributor besar dalam memenuhi kebutuhan kami,” ujar Sultan Ahmed al-Jaber, Duta Khusus untuk Energi dan Perubahan Iklim di UEA dan direktur perusahaan milik pemerintah Masdar, investor terbesar untuk proyek tersebut.
“Kami bukannya seperti negara lain yang kelabakan mencari sumber listrik pelengkap,” ujar Jaber, dengan menambahkan bahwa Abu Dhabi berencana mendapatkan sumber listrik dari energi terbarukan pada 2020.
“Kami melihatnya dari sudut pandang strategis. Kami ingin menjadi pemain teknologi, bukan pemain energi.”
Dengan padang pasir yang luas dan sinar matahari yang melimpah, Timur Tengah merupakan tempat ideal untuk mengembangkan energi surya. Namun sampai saat ini, wilayah terebut belum mengembangkannya karena biayanya tiga kali lebih besar dibandingkan bahan bakar minyak (BBM) yang mendapat banyak subsidi.
Selain itu ada kesulitan regulasi dan teknologi, mengingat iklim Timur Tengah yang keras, jauh lebih panas dan berdebu dibandingkan Eropa, di mana energi surya sangat berkembang.
Namun kemajuan teknologi telah menurunkan biaya secara dramatis, dan banyak negara kaya minyak mempertimbangkan energi terbarukan di tengah meningkatnya permintaan untuk tenaga listrik untuk menyokong pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kenaikan jumlah penduduk yang cepat.
Selain itu ada juga ketakutan, terutama di Arab Saudi, bahwa sumber daya minyak yang sepertinya tidak terbatas telah berkurang dan suatu kali nanti mereka akan menjadi importir minyak. Banyak negara juga paham bahwa pendapatan dari ekspor minyak, mencapai US$90 per barrel saat ini, daripada dipakai untuk kebutuhan domestik.
Di tengah ketertarikan akan tenaga surya, negara-negara Timur Tengah mulai memiliki target ambisius terkait energi terbarukan.
Mesir dan Qatar mengatakan akan memproduksi 20 persen energinya dari sumber terbarukan masing-masing pada 2020 dan 2024. Algeria berencana memproduksi 22.000 megawatt listrik dari sumber terbarukan antara sekarang dan 2030. Arab Saudi mengumumkan target 10 persen untuk 2020 dan Kuwait 15 persen pada 2030. (AP/Michael Casey)