Sebuah studi yang diterbitkan pada Rabu (20/3) menunjukkan tingkat kesuburan hampir di semua negara akan terlalu rendah untuk menjaga tingkat populasi pada akhir abad ini. Studi itu juga menemukan bahwa sebagian besar kelahiran di dunia akan terjadi di negara-negara miskin.
Menurut pernyataan peneliti senior Stein Emil Vollset dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di Universitas Washington di Seattle, tren ini akan mengakibatkan perbedaan antara "baby boom" dan "baby bust" di seluruh dunia. Lonjakan terjadi di negara-negara berpendapatan rendah yang lebih rentan terhadap ketidakstabilan ekonomi dan politik.
Studi yang dilaporkan dalam The Lancet memproyeksikan 155 dari 204 negara dan wilayah di seluruh dunia, atau 76 persen, akan memiliki tingkat kesuburan di bawah tingkat penggantian populasi pada 2050. Pada 2100, angka tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 198, atau 97 persen, menurut perkiraan para peneliti.
Perkiraan tersebut didasarkan pada survei, sensus, dan sumber data lain yang dikumpulkan dari 1950 hingga 2021 sebagai bagian dari Studi Beban Penyakit, Cedera, dan Faktor Risiko Global.
Lebih dari tiga perempat kelahiran hidup akan terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah pada akhir abad ini, dan lebih dari setengahnya terjadi di Afrika Sub-Sahara, kata para peneliti.
Tingkat kesuburan global – jumlah rata-rata kelahiran per perempuan – turun dari sekitar 5 anak pada 1950 menjadi 2,2 pada 2021, menurut data.
Pada 2021, 110 negara dan wilayah (54 persen) mempunyai tingkat penggantian populasi di bawah tingkat penggantian populasi yaitu 2,1 anak per perempuan.
Studi tersebut menyoroti tren yang sangat mengkhawatirkan di negara-negara seperti Korea Selatan dan Serbia, yang tingkat kesuburannya kurang dari 1,1 anak per perempuan, sehingga membuat mereka dihadapkan pada tantangan berkurangnya angkatan kerja.
BACA JUGA: Tingkat Kelahiran Capai Rekor Terendah, Populasi Jepang Makin GentingBanyak negara yang memiliki sumber daya terbatas “akan bergulat dengan cara mendukung populasi termuda dan paling cepat berkembang di planet ini di negara-negara yang paling tidak stabil secara politik dan ekonomi, mengalami tekanan panas, dan sistem kesehatan yang terbatas di dunia,” kata Volset.
Walaupun penurunan tingkat kesuburan di negara-negara kaya mencerminkan peluang pendidikan dan pekerjaan yang lebih besar bagi perempuan, para peneliti menyatakan bahwa ini menunjukkan perlunya meningkatkan akses terhadap kontrasepsi modern dan pendidikan perempuan di daerah-daerah lain.
Selain itu, “ketika populasi hampir setiap negara menyusut, ketergantungan pada imigrasi terbuka akan menjadi penting untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi,” kata Natalia Bhattacharjee dari IHME, salah satu penulis laporan tersebut, dalam sebuah pernyataan. [ah/ft]