Tiongkok Bantah Rekayasa Batasi Pasokan Tanah Nadir

  • Ivan Broadhead

Tiongkok digugat melalui WTO karena pembatasan ekspor unsur logam 'Rare-Earth' atau tanah nadir ini (foto: dok).

Tiongkok mengontrol pasokan global dari tanah nadir, mineral penting untuk memproduksi teknologi tinggi, dari telepon seluler dan televisi hingga sistem rudal pertahanan.
Dengan memberlakukan kuota yang semakin ketat pada pasokan ekspor dan menaikkan harga mineral langka tersebut, Tiongkok tampaknya bermaksud memprovokasi mitra-mitra perdagangan internasionalnya untuk mengambil tindakan.

Penggalian dan pengolahan kelompok dari 17 tanah nadir (rare-earth) adalah proses mahal dan penuh polusi. Alasan itulah yang dikemukakan oleh Tiongkok untuk mengurangi kuota ekspor sebesar 27 persen pada tahun lalu saja, menjadi 10.500 ton.

Berbicara pada hari Rabu, wakil Menteri Perindustrian Su Bo membantah tuduhan Amerika dan Uni Eropa bahwa perlindungan lingkungan itu hanyalah alasan Beijing untuk mengurangi pasokan global.

"Dengan hanya 23 persen dari cadangan tanah nadir dunia, Tiongkok menyediakan lebih dari 90 persen pasokan pasar dunia, membuat kontribusi besar bagi pembangunan ekonomi dunia. Namun, eksploitasi berlebihan terhadap sumber alam itu telah menyebabkan masalah lingkungan yang secara serius menghambat perkembangan berkelanjutan dari industri itu," kata Su Bo.

Su Bo mengatakan lingkungan hidup di Tiongkok telah menderita akibat pengolahan berlebihan tanah nadir.

Sekitar 30 persen endapan tanah nadir ditemukan di Tiongkok. Namun, akuisisi oleh badan usaha milik negara Tiongkok, dan kebangkrutan di antara produsen di luar Tiongkok, berarti Beijing saat ini menguasai 90 persen dari produksi aktual di seluruh dunia.

Sementara Bo menyangkal manipulasi apapun, harga tanah nadir di dunia telah melambung sementara Tiongkok membatasi pasokan. Terbium oksida, misalnya, diperdagangkan seharga 2.000 dolar AS perkilo di New York, tetapi hanya seharga 600 dolar perkilo di Tiongkok.

Dengan memberlakukan kuota pada pasokan luar negeri, para analis mengatakan Tiongkok berharap untuk mendorong pengembangan teknologi tinggi dalam negerinya, industri yang tergantung pada tanah nadir.

Tujuan Beijing adalah untuk merangsang pertumbuhan dan membawa negara itu keluar dari manufaktur dengan keterampilan rendah, dan keuntungan rendah.

Namun, langkah itu bisa menjadi bumerang dalam jangka panjang, seperti dikatakan Matius Fusarelli, kepala penelitian di AME, seiring dengan upaya negara-negara industri dalam mengembangkan teknologi alternatif.

Fusarelli mengatakna, "Peralatan elektronik dan produk-produk yang menggunakan unsur tanah nadir memiliki siklus hidup yang cukup singkat. Saya pikir apa yang kita akan lihat di depan alternatif yang lebih banyak. Generasi berikut dari benda-benda jenis ini akan dirancang untuk menggunakan tanah nadir dengan jauh lebih hemat, atau tidak sama-sekali."

Setelah mendapat protes resmi tentang praktik Beijing yang tidak kompetitif di Organisasi Perdagangan Dunia, pihak-pihak termasuk Amerika dan Uni Eropa memulai perundingan dengan Tiongkok pada bulan April.

Sebagai tanda betapa pentingnya persediaan tanah nadir dalam sektor teknologi Jepang, Tokyo juga ikut bersama Amerika dan Uni Eropa –yang merupakan pertama kalinya Jepang terlibat sengketa perdagangan dengan Tiongkok melalui WTO.

WTO yang berbasis di Jenewa itu diharapkan untuk memutuskan hal itu jika penyelesaian melalui perundingan tidak tercapai sebelum akhir bulan.