Kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menuding pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin melakukan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam pemilihan umum serentak yang digelar 17 April lalu. Karena itulah, pekan lalu, Prabowo sudah menyatakan tidak akan menerima hasil pemilihan umum yang akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun tidak akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Prabowo memilih untuk mengajak rakyat turun ke jalan menuntut KPU mendiskualifikasi pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin karena sudah berlaku curang.
BACA JUGA: KPU: Jokowi-Ma’ruf Unggul dengan 55,50%Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (20/5), Arsul Sani, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, mengatakan TKN siap menghadapi gugatan di Mahkamah Konstitusi terhadap hasil pemilihan umum yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dia mengatakan TKN sudah menyiapkan tim kuasa hukum untuk menghadapi gugatan tersebut.
"Tujuan TKN menyelenggaraan diskusi publik pada sore hari ini dalam rangka persiapan TKN apabila hasil pilpres ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Kita memang tidak tahu, bisa jadi ke MK itu memang tetap akan berlangsung. Kita juga sudah menyiapkan tim hukum," kata Arsul.
Arsul menambahkan tim hukum TKN yang akan maju ke Mahkamah Konstitusi itu akan diisi para pengacara senior, termasuk Yusril Ihza Mahendra, Luhut Pangaribuan, dan Teguh Samudera.
BPN Prabowo-Sandi Tak akan Ajukan Gugatan Sengketa ke Mahkamah Konstitusi
Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak akan mengajukan gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK) meski menyatakan menolak hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Anggota Dewan Pengarah BPN Fadli Zon, mengatakan, pihaknya tidak akan menempuh jalur tersebut karena merasa sia-sia dan tidak yakin MK dapat menyelesaikan sengketa hasil perolehan suara pilpres.
Dua Substansi Pelanggaran atau Kecurangan Pemilu
Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum Sigit Pamungkas menjelaskan diksi kecurangan terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif pertama kali muncul dalam keputusan Mahkamah Konstitusi terkait pemilihan gubernur Jawa Timur pada 2008. Sigit menduga munculnya diksi terstruktur, sistematis, dan masif dalam Undang-undang Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017 merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan keadilan yang sifatnya tidak sekadar prosedural tetapi juga substantif.
Menurut Sigit, keadilan substantif penting karena kalau pelanggaran itu dinilai semata-mata prosedural padahal faktanya banyak terjadi pelanggaran, maka yang substantif itu tidak tercapai.
Lebih lanjut Sigit mengungkapkan ada dua substansi mengenai terstruktur, sistematif, dan masif, yaitu yang berkaitan dengan politik uang. Dia menyebutkan kalau ada calon yang melakukan politik uang secara terstruktur, sistematis, dan masif, maka calon tersebut bisa didiskualifikasi.
Kedua, terkait dengan pelanggaran administrasi pemilihan umum. Sanksinya sama, yaitu mendikuslifikasi peserta pemilihan umum.
Menurutnya pelanggaran adminsitratif pemilu adalah pelanggaran yang terkait dengan tata cara, pelanggaran prosedur, ketentuan, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pemilihan umum dari setiap tahapan penyelenggaraan.
Dalam Undang-undang Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017, lanjut Sigit, pelanggaran administratif pemilu bukan pelanggaran etik dan bukan pelanggaran pidana. Sigit menjelaskan terdapat dua jenis pelanggaran dalam pemilihan umum, yakni pelanggaran administrasi dan kecurangan.
"Kalau pelanggaran itu diniatkan, memang ada upaya untuk melakukan itu, maka dia masuk pada ranah yang disebut kecurangan. Tetapi kalau ada kesalahan-kesalahan yang tidak ada niatnya, maka dia masuk pada wilayah malpraktik," ujar Sigit.
Sigit menambahkan ada persinggungan antara malpraktik dengan kecurangan, yang disebut malpraktik kriminal, yakni kesalahan tidak diniatkan tetapi terjadi secara besar-besaran. Dia mencontohkan kampanye dengan memasang baliho.
Anggota Tim Hukum Nasional Teguh Samudera mengatakan siapa saja boleh menolak hasil pemilihan umum dengan berdemonstrasi, namun dia mengingatkan orang yang menolak harus menaati kewajibannya yakni tidak melanggar hak-hak orang lain. Teguh menegaskan hak asasi tiap orang tidak bersifat absolut, termasuk dalam hal menyampaikan pendapat.
Your browser doesn’t support HTML5
"Hak itu sepanjang digunakan - menolak kek, tidak mengakui - tidak melanggar hak orang lain, itu tidak apa-apa. Tapi begitu dipaksakan, mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi, pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, pelanggaran terhadap norma agama, kesusilaan, dan tertib kehidupan berbangsa dan bernegara dalam menyatakan sikapnya, ada sanksinya," ujar Teguh.
Praktisi hukum konstitusi Heru Widodo menjelaskan kecurangan terstruktur adalah kecurangan yang melibat pejabat penyelenggara pemilihan umum. Kecurangan sistematis adalah kecurangan yang menggunakan perencanaan yang matang. Masif adalah kecuarngan itu terjadi di wilayah yang luas.
Ditegaskannya bahwa di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), syarat kecurangan bisa disebut masif adalah kecurangan tersebut terjadi di minimal 17 provinsi. (fw/em)