Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto melepas pengiriman 900 buah payung udara orang dan payung udara barang serta 50 set peralatan low-cost, low-altitude (LCLA) ke Yordania, di Apron Lanud Halim Perdana Kusumah, Jakarta Timur, Jumat (29/3).
“Pengiriman bantuan kemanusiaan ke Palestina ini merupakan tindak lanjut, permintaan kebutuhan payung udara dari pemerintah Yordania dalam rangka pengiriman bantuan kemanusiaan ke Palestina. Personil yang akan dikerahkan sejumlah 26 orang,” ungkap Agus.
Agus menjelaskan, payung udara tersebut nantinya akan digunakan untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan dari pemerintah Indonesia yang sudah tiba terlebih dahulu di Yordania. Pengiriman bantuan kemanusiaan dengan metode airdrop ini nantinya akan dilakukan oleh pihak militer udara Yordania.
“Nanti payung tersebut akan digunakan untuk mendrop dengan cara airdrop dari pesawat di Gaza tersebut. Jadi yang 900 itu kita akan serahkan kepada pemerintahan Yordania, nanti Yordania yang akan meng-airdrop-nya,” jelasnya.
Misi tersebut, katanya, akan berlangsung selama sepuluh hari. Adapun rute pemberangkatannya terdiri dari Halim, Aceh, Myanmar, India, Uni Emirat Arab (UEA) dan Yordania. Rute yang sama berlaku juga untuk kepulangan langsung ke tanah air.
Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Bagus Hendraning Kobarsyih yang ikut melepas keberangkatan pengiriman bantuan tersebut kepada VOA mengatakan pengiriman bantuan dengan metode airdrop ini merupakan salah satu cara alternatif yang bisa dilakukan mengingat situasi jalur darat pada saat ini tidak kondusif.
“Jalur darat kita pahami sekarang di Rafah ini kondisi tensinya tinggi sekali, Israel berkali-kali mengancam untuk menyerbu Rafah. Kondisi ini sangat eksplosif, tidak pasti. Kalau itu dipakai tidak ada jaminan juga barang itu bisa sampai ke sasaran dengan selamat. Sebenarnya ini jalur alternatif untuk menghadapi blokade Israel yang ada di mana-mana,” ungkap Hendraning.
Meskipun pengiriman bantuan via airdrop ini kerap memakan korban masyarakat sipil, Hendraning berharap militer Yordania dapat menjalankan tugasnya dengan baik karena secara teknis mereka cukup memahami situasi di lapangan.
Selain itu, pertimbangan Indonesia menitipkan bantuan payung udara orang dan barang ini kepada pihak Yordania adalah karena Indonesia sendiri tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Untuk bisa terbang memasuki wilayah Gaza, menurutnya, dibutuhkan izin dari pihak Israel.
“Yordania punya hubungan diplomatik dengan Israel, Indonesia tidak punya. Oleh karena itu, kalau kita terbang masuk ke wilayah ke Gaza semuanya harus mendapatkan clearance dari Israel. Ini yang kita hindari. Jadi tidak konsisten, karena selama ini kita tidak mengakui Israel kita mendukung perjuangan Palestina tiba-tiba kita harus meminta untuk bisa terbang di atasnya yang sebetulnya bisa kita lakukan dengan cara lainnya salah satunya dengan cara kerja sama dengan pemerintah Yordania,” jelasnya.
Terkait adanya resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang mendesak dilakukannya gencatan senjata segera di Gaza pada Senin (25/3), Hendraning berharap hal ini bisa dijalankan dengan baik. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya, menurutnya, adalah sejauh mana resolusi ini efektif untuk menekan Israel.
“Kita belum tahu (efektif atau tidak), yang jelas Israel sekarang sudah mengalami mentality isolated, hampir semua negara tidak bisa menerima perlakukan Israel yang melakukan genosida di Gaza, itu bukan perang, itu pembantaian,” tuturnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara itu, Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia Agung Nurwijoyo mengatakan pengiriman bantuan kemanusiaan bagi rakyat Gaza dengan metode airdrop ini menggambarkan adanya kegentingan dalam pemberian bantuan, karena pemberian bantuan lewat jalur darat sulit untuk dilakukan.
“Airdrop itu menjadi satu hal yang untuk kondisi sekarang mungkin menjadi salah satu opsi rasional yang bisa dilakukan untuk memberikan bantuan bagi rakyat Gaza. Dan juga sangat logis untuk kemudian memilih mitranya adalah Yordania, karena Yordania pun adalah salah satu aktor yang sudah tahu secara teknis di lapangan, sudah paham, bahkan di bawahnya langsung Raja Abdullah pernah mengirimkan secara langsung bantuan via udara,” ungkap Agung.
Merespons adanya resolusi dari DK PBB, Agung pun menyebut bahwa hal ini merupakan suatu kemajuan yang luar biasa. Namun, menurutnya, hal yang harus diwujudkan ke depannya adalah upaya multilateral secara konsisten dalam konteks untuk peredaan genosida yang terjadi di Gaza.
“Namun juga tetap harus bersinergi dengan upaya perdamaian lain yang sifatnya menurut saya dalam derajat tertentu punya tingkat keberhasilan yang kemungkinan jauh lebih besar yaitu melalui mediasi antara aktor-aktor yang memang sudah berperan setidaknya semenjak bulan Oktober,” jelasnya.
“Ada dua usaha dari Qatar yang akhirnya dulu jadi ada jeda kemanusiaan selama satu pekan, dan lewat bantuan Mesir meskipun ada problem mempertemukan kedua belah pihak. Tapi memang upaya-upaya lewat jalan seperti itu lewat aktor yang bermain di lapangan, dalam hal ini aktor regional, di tambah dengan dorongan tetap Amerika di dalamnya. Itu tetap menjadi satu kunci dalam upaya meredakan kekerasan di Gaza,” pungkasnya. [gi/ab]