Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan TNI siap mengamankan kapal kargo atau kapal pengangkut batu bara asal Indonesia yang berlayar melewati perairan Filipina Selatan.
Pernyataan Gatot ini keluar menanggapi penculikan tiga warga negara Indonesia oleh milisi Abu Sayyaf Sabtu (9/7) pekan lalu. Ketiga anak buah kapal penangkap ikan berbendera Malaysia itu disandera setelah lima anggota Abu Sayyaf menyergap kapal ikan itu di perairan sekitar Felda Sahabat, Lahad Datu, Malaysia.
Gatot mengatakan pihaknya sudah menyiapkan segala hal yang mungkin akan diminta oleh pemerintah Filipina atau Malaysia untuk membebaskan sandera dan mengamankan jalur pelayaran di sekitar Filipina Selatan.
"Contohnya TNI menyiapkan prajuritnya untuk mengawal kapal-kapal, baik itu kapal nelayan atau kapal batu bara melintas di sana. Kedua, kalau untuk pembebasan sandera, kami juga menyiapkan pasukan. Untuk melaksanakan patroli bersama dan juga di koridor, kami siap. Apa pun diperlukan kami siap," ujarnya.
Gatot menjelaskan dengan terjadinya penyanderaan lagi atas warga Indonesia, negara ini memiliki posisi lebih kuat untuk menekan dikeluarkannya izin melakukan operasi militer untuk membebaskan sandera dan mengamankan jalur pelayaran di perairan Filipina Selatan.
Ia yakin jika sudah ada prajurit TNI mengawal kapal nelayan dan barang Indonesia, Abu Sayyaf tidak akan berani lagi menyergap dan menyandera warga negara Indonesia.
Dia menyebutkan kemungkinan kalau disetujui akan ada empat sampai lima anggota TNI yang mengawal kapal barang berbendera Indonesia.
Dia menambahkan masalah penyanderaan terhadap warga negara Indonesia dan keamanan jalur pelayaran di sekitar Filipina Selatan akan menjadi bahasan utama dalam pertemuan tiga menteri pertahanan.
Ketiga menteri pertahanan Indonesia, Malaysia, dan Filipina dijadwalkan bertemu membahas kedua isu itu hari Selasa ( 12/7) di Kuala Lumpur.
Your browser doesn’t support HTML5
Insiden Sabtu pekan lalu tersebut merupakan penyanderaan keempat dalam empat bulan terakhir. Kelompok bersenjata pimpinan Isnilon Totoni Hapilon itu pertama kali menyandera warga Indonesia April lalu, yakni 10 orang menjadi anak buah kapal. Penyanderaan berlanjut terhadap empat lainnya pada Mei, lalu tujuh orang bulan lalu.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan, Indonesia dan Filipina sudah memiliki perjanjian soal patroli gabungan yang diteken pada 1975.
"Dalam kerjasama joint patrol tersebut ada tiga elemen kerja sama dapat dilakukan. Satu adalah coordinated cooperation. Kedua adalah joint patrol. Ketiga adalah coordinated patrol. Sekali lagi saya tekankan, urgensinya sangat tinggi agar kerjasama lapangan itu dapat segera diterapkan," ujarnya.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan menyatakan, opsi operasi militer masih belum diperlukan. Pemerintah telah mengetahui langkah apa yang harus dilakukan terkait penyanderaan ini, tambahnya.
"Kami terus terang telah mempunyai pilihan-pilihan apa yang akan kami lakukan menyangkut penyanderaan karena ini bukan kasus pertama tapi satu hal, opsi untuk melakukan operasi militer masih dikesampingkan, karena itu menyangkut konsitutisi dari negara lain. Tentu kami perlu hargai. Namun langkah-langkah lain yang sedang kita lakukan bagaimana pengamanan dilakukan," katanya.
Merupakan sempalan dari kubu MILF (Barisan Pembebasan Islam Moro), kelompok Abu Sayyaf ini dibentuk oleh Abdurrazak Abu Bakar Janjalani.
Pada 23 Juli 2014, pemimpin Abu Sayyaf Isnilon Totoni Hapilon menyatakan sumpah setia kepada pemimpin kelompok Negara Islam (ISIS) Abu Bakar al-Baghdadi. Dua bulan kemudian, milisi ini mulai menculik warga asing demi menuntut uang tebusan.