Beberapa orang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melihat diri mereka sebagai penyintas dari tragedi penembakan di SMA Columbine. Mereka tidak terluka secara fisik. Namun, hal-hal seperti suara kembang api kerap memicu ingatan yang mengganggu.
Awalnya, dampak psikologis yang dialami para penyintas tidak terlalu diperhatikan, sebelum akhirnya kesehatan mental mereka benar-benar terlihat. Beberapa penyintas menderita insomnia, putus sekolah, atau menjauhkan diri dari pasangan, bahkan keluarga mereka.
Belum lama ini para penyintas dan anggota masyarakat lainnya menghadiri acara menyalakan lilin di tangga gedung DPR, pada malam peringatan penembakan tersebut.
Para peneliti yang telah mempelajari dampak jangka panjang dari kekerasan senjata api di sekolah telah mengamati perjuangan hidup para penyintas, termasuk dampak akademis jangka panjang, seperti ketidakhadiran di sekolah dan berkurangnya pendaftaran perguruan tinggi, serta penghasilan yang lebih rendah di kemudian hari.
Your browser doesn’t support HTML5
Pembunuhan massal telah berulang dengan frekuensi yang tidak terhitung pada tahun-tahun setelah tragedi Columbine, dengan hampir 600 serangan yang menewaskan empat orang atau lebih, tidak termasuk pelaku, sejak tahun 2006, menurut data yang dikumpulkan oleh The Associated Press.
Lebih dari 80% dari 3.045 korban dalam serangan-serangan tersebut dibunuh menggunakan senjata api.
Secara nasional, ratusan ribu orang telah mengalami situasi di mana penembakan terjadi di sekolah, yang sering kali tidak menimbulkan korban jiwa, namun tetap saja menimbulkan trauma. Dampaknya bisa berlangsung seumur hidup.
Darrell Scott adalah ayah dari Rachel Scott, salah satu korban penembakan Columbine. Rachel adalah anak tengah dari lima bersaudara. Dua anaknya adalah siswa SMA Columbine.
"(Saat terjadi penembakan di SMA Columbine), saya sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan. Istri saya menelpon dan mengatakan bahwa telah terjadi penembakan di sekolah. Saya lalu bergegas ke mobil dan menyalakan radio," kenang Darrell Scott kepada Associated Press.
Awalnya, ia berpikir mungkin ada seorang pemuda yang marah terhadap orang lain, mengampil pistol dan menembaknya. Namun, ternyata bukan itu yang terjadi.
Ia tidak siap untuk mendengar apa yang sesungguhnya terjadi. Penyiar di radio yang ia dengar terisak dan mengatakan bahwa hingga 30 siswa telah ditembak. Banyak di antara mereka yang tewas.
"Saya pernah memberikan komentar pada acara peringatan satu tahun tragedi Columbine. 'Ini adalah waktu untuk mengenang. Kami tidak akan pernah melupakan 13 orang yang kami cintai dan orang-orang yang terluka. Namun, ini juga merupakan waktu untuk berharap,'" ujar Frank DeAngelis, mantan kepala sekolah SMA Columbine.
Frank DeAngelis menambahkan, seiring berjalannya waktu, mereka telah melihat adanya harapan yang terus berlanjut. Ketika peringatan 25 tahun mereka bertanya kepada keluarga korban, 'Apa yang Anda ingin dunia ketahui tentang putra atau putri Anda?’ Dan hanya dengan membaca beberapa jawaban mereka, membuatnya meneteskan air mata.
"Orang-orang akan tahu lebih dari sekedar 13 anak yang meninggal pada hari itu. Hal ini memberikan harapan. Ada yayasan yang didirikan untuk menghormati anak-anak ini yang menurutnya penting. Itulah yang diwakili oleh Columbine, yaitu harapan," tambahnya.
Mereka yang kembali hadir di Columbine untuk peringatan penembakan tersebut mengatakan bahwa tahun-tahun setelahnya telah memberi mereka waktu untuk belajar lebih banyak tentang apa yang terjadi pada mereka dan bagaimana cara mengatasinya.
Heather Martin adalah seorang siswa senior Columbine pada tahun 1999. Saat kuliah, ia mulai menangis saat ada peringatan latihan kebakaran. Ia ingat ketika alarm berbunyi selama tiga jam saat ia dan 60 siswa lainnya bersembunyi di kantor yang dibarikade saat terjadi penembakan di sekolahnya dulu.
Dia tidak dapat kembali ke kelas dan mengikuti kuliah, yang membuatnya selalu ditandai sebagai absen. Ia bahkan tidak lulus kelas tersebut, setelah menolak untuk menulis makalah tentang kekerasan di sekolah, meskipun telah memberi tahu profesornya tentang pengalamannya di Columbine dulu.
Butuh waktu 10 tahun baginya untuk melihat dirinya sebagai seorang penyintas, setelah ia diundang kembali bersama seluruh anggota kelasnya pada tahun 1999 untuk acara peringatan. Dia melihat teman-teman sekelasnya mengalami perjuangan yang sama dan segera memutuskan untuk kembali ke perguruan tinggi, untuk menjadi seorang guru.
Heather Martin juga adalah salah satu pendiri The Rebels Project, yang namanya diambil dari maskot Columbine. Kepada Associated Press, ia mengatakan bahwa 25 tahun telah memberinya waktu untuk berjuang dan mencari cara untuk keluar dari pergulatan tersebut.
"Selama 25 tahun saya mengalami serangan kecemasan yang melemahkan diri saya. Tetapi, kini saya tahu bagaimana cara keluar dari masalah itu dan tahu bagaimana cara mengatasinya," pungkas Heather. [di/ii]