Transaksi Politisi dan Penjahat Lingkungan akan Meningkat Jelang Pemilu

  • Nurhadi Sucahyo

Tambang batu bara mengakibatkan kerusakan lingkungan dekat Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur. (Foto: Ilustrasi/REUTERS/Beawiharta)

Data menunjukkan, transaksi antara politisi dengan pengusaha tambang, hutan dan sawit akan meningkat menjelang pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Tahun ini, diprediksi jalinan itu akan semakin kuat.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat adanya fenomena peningkatan pemberian izin usaha yang berulang di tahun politik, yaitu satu tahun sebelum pemilu atau pilkada. Peningkatan itu, menurut Direktur Eksekutif Walhi, Zenzi Suhadi, bahkan selalu mencapai di atas 200 persen jika dibandingkan periode sebelum atau sesudah tahun politik.

“Itu trennya memang penerbitan izin tahun pemilu itu meningkat. Dan di tahun ini, kita memprediksi, transaksi politik dengan kejahatan sumber daya alam akan meningkat. Kenapa dia meningkat? Karena pintunya ditambah,” kata Zenzi dalam peluncuran Tinjauan Lingkungan Hidup 2023 oleh Walhi, Selasa (31/1).

Direktur Eksekutif Walhi, Zenzi Suhadi, dalam tangkapan layar.

Peningkatan di tahun ini, menurut Zenzi, terjadi karena pada tahun-tahun sebelumnya, faktor pendukungnya hanya dalam soal kewenangan penerbitan izin. Pintu yang ditambah, dalam istilah Zenzi, adalah karena saat ini pemerintah memiliki kewenangan mengampuni kejahatan.

“Bukan hanya menerbitkan izin, tapi mengampuni kejahatan. Nah, pihak yang terlibat pun tidak hanya kandidat kepala daerah, tapi bisa juga institusi penegak hukum. Orang yang berwenang di institusi penegak hukum,” ujarnya.

Konstelasinya menjadi berkembang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Karena itu, lanjut Zenzi, siapa yang akan maju di politik, penentunya bukan hanya partai politik dan elit politik daerah.

Pemandangan dari udara bekas tambang di Kalimantan Timur, 18 November 2015. (Foto: Antara via Reuters)

“Konfigurasi mereka dengan orang-orang yang punya kewenangan di institusi penegak hukum juga akan menentukan, siapa yang akan menang di kepala daerah ataupun di DPR RI,” tegas Zenzi.

Perppu Cipta Kerja menjadi penentu perubahan konstelasi yang terjadi ini.

Secara rinci menurut catatan yang ada, izin di sektor kehutanan akan terbit satu tahun sebelum pemilihan, bahkan hingga jam-jam terakhir sebelum pencoblosan dilakukan. Walhi mencatat, pada 2004 hanya selama dua hari menjelang pemilu putaran kedua, di sektor kehutanan ada 400.000 hektare lahan hutan yang izin pengelolaannya dikeluarkan. Izin bahkan ditandatangani hingga beberapa jam sebelum pencoblosan.

Kebakaran hutan yang terlihat di dekat perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Tanah Putih di Rokan Hilir, Provinsi Riau, 21 Februari 2017. (Foto: Antara/FB Anggoro via REUTERS)

Di sektor sawit dan tambang ada sedikit perubahan, karena sebelum tahun 2020 kewenangan penerbitan ada kepala daerah. Di era 2004-2005, penerbitan izin tambang lebih banyak terjadi setelah pilkada, karena kepala daerah baru terpilih. Data menunjukkan, ada relasi antara pemegang izin tambang dengan mereka yang terpilih di pilkada periode ini.

“Bagaimana melihat relasinya? Mereka mantan kepala dinas ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral -red), mereka mantan kepala dinas Kehutanan. Orang yang tahu di mana lokasi deposit tambang dan orang yang tahu di mana kawasan hutan yang bisa dilepaskan,” urai Zenzi.

Di era 2009-2010, penerbitan izin tambang banyak terjadi sebelum pilkada, terutama di daerah di mana petahana akan maju lagi, karena kekuasaan masih dipegang kepala daerah yang terpilih pada 2004-2005.

BACA JUGA: Ironi Indonesia: Lingkungan Rusak Tapi Pendapatan Cekak

Khusus untuk izin perkebunan sawit, ada pola khusus diberikan. Jika petahana kepala daerah akan maju lagi, maka dia menerbitkan izin prinsip di tahun politik. Kemudian, setelah terpilih, izin usaha perkebunan baru akan dikeluarkan.

Kerusakan Akibat Kebijakan

Dalam skala global, dunia sedang menghadapi perubahan iklim. Kondisi ini, menurut M Islah, Deputi Internal Walhi, membutuhkan kehadiran pemimpin yang peduli pada lingkungan.

“Karena tentu saja sebagian besar perubahan iklim ini disebabkan oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh para pemimpin dunia. Dalam konteks Indonesia, tentu saja ini adalah pemerintah Indonesia, termasuk di dalamnya badan legislatif, yang merumuskan hukum,” kata Islah.

Gambar yang diambil di Kereng Pengi, Pontianak di Kalimantan Barat ini menunjukkan lokasi penambangan emas ilegal di mana para penambang menggunakan merkuri mencemari sungai dan tanah yang menyebabkan kerusakan lingkungan. (Foto: AFP)

Karena itulah, pemilu atau pilkada, sebenarnya adalah sebuah harapan baru. Apakah harapan itu akan menjadi kenyataan baik atau buruk, sepenuhnya ditentukan oleh proses pemilu dan pilkada itu sendiri.

“Pemilu besok ini, kalau yang maju calonnya nanti sebagian besar adalah orang-orang yang ingin mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpotensi merusak lingkungan, atau mereka hanya mengambil keuntungan pada industri-industri ekstraktif, tentu saja harapannya menjadi kelam,” tegasnya.

Karena itu, Islah berpesan kepada dua pihak dalam upaya perbaikan keadaan, yaitu partai politik dan masyarakat sebagai pemilih. Partai politik, yang saat ini berasa dalam fase awal pemilihan calon-calon anggota legislatif dan calon-calon pemimpin, baik nasional maupun daerah, harus punya kepedulian terhadap lingkungan. Bagaimanapun, hanya ada satu jalur untuk menjadi anggota legislatif yang membuat undang-undang, yaitu partai politik.

Foto udara yang diambil pada tanggal 7 Juni 2012 di Kalimantan Tengah ini menunjukkan operasi penambangan emas ilegal di sebuah sungai di mana penggunaan merkuri oleh penambang mencemari sungai dan tanah yang menyebabkan kerusakan lingkungan. (Foto: AFP)

Harapan kedua adalah pada masyarakat, yang harus ikut seluruh proses politik. Jika politisi menjual izin di tahun politik bisa dipastikan dia tidak akan berpihak pada lingkungan ketika menjabat.

“Kalau tahun ini masih terjadi demikian, maka tentu saja nanti orang-orang yang duduk di kekuasan, baik legislatif maupun eksekutif, kurang punya kepedulian terhadap lingkungan, karena modal politiknya saja dari merusak lingkungan hidup,” kata Islah.

Perlu Gerakan Rakyat

Antropolog Universitas Indonesia, Suraya Abdulwahab Afiff, dalam tangkapan layar.

Antropolog senior dari Universitas Indonesia, Suraya Abdulwahab Afiff, merekomendasikan gerakan rakyat untuk memperbaiki situasi.

“Salah satu yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membangun gerakan lingkungan yang efektif. Karena pemerintah tidak bisa berubah tanpa pressure dari rakyatnya,” kata Suraya.

Rakyat harus disadarkan bahwa perubahan akan terjadi hanya ketika mereka menginginkan itu. Gerakan itu akan terwujud, salah satunya dimulai melalui proses memilih pada pemilu atau pilkada yang akan berlangsung tahun depan.

BACA JUGA: Dampak Lingkungan Bayangi Ambisi Indonesia untuk Jadi Pemain Utama dalam Ekosistem Kendaraan Listrik Global

“Kalau kita belajar dari Jerman misalnya, kenapa Partai Hijau di Jerman itu sekarang masuk di dalam karena ada keinginan dari rakyatnya untuk melihat pemerintah Jerman mempercepat perubahan energi alternatif,” kata Suraya memberi contoh.

“Jadi, itu hanya mungkin kalau rakyat memang menginginkan seperti itu. Ini bagian yang paling penting, mengedukasi bahwa rakyat memilih jangan sekedar memilih. Gimana nih generasi muda, yang akan ikut memilih,” tambahnya.

Your browser doesn’t support HTML5

Transaksi Politisi dan Penjahat Lingkungan akan Meningkat Jelang Pemilu

Sejumlah faktor mempengaruhi, seperti seberapa besar anak muda tertarik dalam perubahan semacam ini. Selain itu, kesadaran bahwa aktivisme tidak hanya bisa dilakukan dengan menjadi aktivis di lembaga nonpemerintah. Bahkan, seorang ibu rumah tangga pun, kata Suraya, bisa menjadi aktivis dari gerakan semacam ini jika memiliki komitmen.

Gerakan lingkungan, lanjut Suraya, juga membutuhkan peran berbagai pihak mulai LSM, akademisi, pemuka agama dan gerakan-gerakan sosial lain. [ns/ah]