Sejak kajian dari Survei Geologi Amerika Serikat satu dekade lalu mengidentifikasikan adanya cadangan sumber daya mineral yang kemudian diperkirakan bernilai 1 triliun dolar, pejabat Afghanistan dan asing telah mengembar gemborkan cadangan tambang tersebut sebagai kunci kemandirian ekonomi Afghanistan.
Selain sumber daya emas, perak dan platinum, Afghanistan memiliki cadangan bijih besi, uranium, zinc, tantalum, bauksit, batubara dan gas alam serta tembaga dalam jumlah yang signifikan. Terutama untuk tembaga, dimana keberadaan cadangan di Afghanistan menjadi penting karena langkanya penemuan cadangan baru di tambang-tambang seluruh dunia.
Beberapa laporan mengatakan Afghanistan berpotensi menjadi “Arab Saudi-nya litium,” karena memiliki cadangan bahan mentah yang digunakan dalam pembuatan telepon selular dan baterai mobil listrik.
Namun, kekurangan logistik dasar seperti jalan-jalan beraspal dan jalur kereta api yang dibutuhkan untuk mengangkut konsentrat tembaga atau bijih besi, korupsi yang meluas,buruknya birokrasi dan meningkatnya aksi pemberontakan yang meletakkan sebagian besar negara tersebut di luar kekuasaan negara, telah menurunkan upaya-upaya untuk membangun sebuah industri pertambangan yang resmi.
Sebagian besar data dasar sudah ada sejak masa pendudukan Uni Soviet tahun 1980an. Mendatangkan ahli geologi asing dan insinyur untuk melakukan survei-survei baru di lokasi-lokasi terpencil membutuhkan biaya besar, sementara belum ada cadangan yang bisa diproduksikan untuk membayar para ahli tersebut.
“Tidak ada sumber daya yang bisa diambil dengan mudah yang bisa memicu percepatan pertumbuhan dan memupuk pembangunan yang mandiri,” menurut dokumen dari Kerangka Pembangunan dan Perdamaian Nasional milik pemerintah. Dokumen ini dipaparkan di depan konferensi para donor di Brussels tahun lalu.
Proyek-proyek besar seperti tambang tembaga Mes Aynak yang sedang dikembangkan oleh konsorsium China telah terhenti.
“Tidak ada tambang yang aktif dan kalaupun ada sedikit sekali kegiatan eksplorasinya,” kata Leigh Fogelman, direktur di bank Hannam & Partners di London. Pendiri bank tersebut, mantan bankir JP Morgan Ian Hannam, sudah lama menjadi investor di Afghanistan melalui Afghan Gold and Minerals Company (AGMC). AGMC memenangkan izin untuk menambang cadangan tembaga di Balkhab di Utara Afghanistan pada tahun 2012.
Selebihnya, cadangan-cadangan mineral ini menjadi incaran apa yang disebut William Byrd, seorang ekonom dari United States Institute of Peace, sebagai “penjarahan skala industri.”
Walaupun ada tambang skala menengah dan kecil, namun tambang-tambang ini di luar kontrol pemerintah. Kegiatannya menguntungkan operator-operator lokal dan menghilangkan sekitar 300 juta dolar pajak yang tidak dibayarkan, menurut perkiraan pemerintah.
“Kesempatan-kesempatan penambangan yang besar terbengkalai dan di sisi lain, penjarahan sumber daya yang kecil-kecil berlangsung di mana-mana,” kata Byrd.
Permainan Besar
“Presiden Trump sangat tertarik dengan potensi ekonomi Afghanistan,” kata Dubes Afghanistan di Washington kepada Reuters di bulan Juni. “Perkiraan kami ada 1 triliun dolar dalam bentuk tembaga, bijih besi, elemen tanah langka, aluminum, emas, perak, zinc, merkuri dan litium. Ini tambang baru.”
Para pejabat Amerika mengungkapkan kepada Reuters dalam pertemuan dengan para penasihatnya di Gedung Putih bulan Juli lalu, Trump mendesak Amerika harus menuntut bagian dari kekayaan mineral Afghanistan sebagai timbal-balik atas bantuan AS untuk pemerintah Afghanistan.
Mudah untuk melihat mengapa sektor pertambangan telah membangkitkan minat terhadap Afghanistan, negara yang dikepung daratan dengan ekonomi senilai 20 miliar setahun atau kira-kira setengah dari Wyoming, negara bagian AS yang berpenduduk paling sedikit.
Namun investor-investor swasta sangat berhati-hati dan tidak ada cara cepat untuk perbaikan.
“Dalam kasus investasi sektor publik yang besar, situasinya akan berbeda. Namun, tetap ada masalah dalam membangun logistik dan jaringan-jaringan ekspor,” kata Fogelman. “Saya lihat butuh bertahun-tahun untuk menjalankan operasi tambang skala besar.”
Walaupun tenaga keamanan swasta bisa disewa untuk mempertahankan tambang dari serangan kaum pemberontak, biaya yang dikeluarkan untuk membawa bahan tambang keluar dari negara tersebut akan sangat mahal sampai seluruh Afghanistan aman-yang bisa memakan waktu bertahun tahun.
China mendapatkan kontrak yang berlaku selama 30 tahun untuk tambang tembaga Mes Aynak senilai 3 miliar dolar di tahun 2008. Namun, walaupun Taliban telah secara eksplisit mengatakan bahwa mereka tidak akan menyasar tambang tersebut, proyek ini telah didera berbagai penundaan akibat perselisihan mengenai kontrak.
Menurut program donor yang disetujui di Tokyo pada tahun 2012, Afghanistan seharusnya mendapatkan pendapatan dari sektor pertambangan sebanyak 1 miliar dolar per tahun pada 2017. Namun, target ini ditarik kembali.
Dalam 11 bulan pertama pada tahun fiskal sebelumnya, pemerintah hanya mendapat 18 juta dolar pendapatan dari sektor pertambangan. Perkiraan dari pemerintah sendiri bahwa pendapatan tidak akan melebihi 1 miliar dolar sebelum 2029. Bandingkan dengan pengeluaran untuk keamanan senilai 4,6 miliar dolar tahun ini atau sama dengan hampir seperempat dari total anggaran belanja pemerintah.
“Berpikiran bahwa mineral-mineral tambang akan menyelamatkan Afghanistan dalam beberapa tahun mendatang adalah sebuah ilusi belaka,” kata seorang diplomat Barat di Kabul. [fw/as]