Trump, Presiden AS ke-3 Yang Dimakzulkan

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump saat kampanye di Kellogg Arena, Battle Creek, Michigan, 18 Desember 2019.

DPR AS yang dikontrol fraksi Demokrat memutuskan untuk memakzulkan Presiden Donald Trump, Rabu (19/12). Para legislator menyetujui tuduhan bahwa Trump menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan politik dengan perbandingan 230 suara setuju dan 197 suara menolak, dan satu abstain (tidak memilih). Tuduhan bahwa Trump menghambat usaha Kongres untuk menyelidikinya juga disetujui dengan 229 suara setuju, 198 menolak, dan satu abstain. Kasus untuk melengserkan Trump ini akan segera beralih ke Senat yang dikontrol fraksi Republik.

Ketua DPR Nancy Pelosi menyatakan bahwa DPR menyetujui tuduhan bahwa Trump menghambat Kongres. Dengan disetujuinya tuduhan itu, dan tuduhan bahwa Trump menyalahgunakan kekuasaan, Trump menjadi presiden ke-3 dalam sejarah 243 tahun Amerika yang dimakzulkan DPR.

"Sungguh tragis bahwa tindakan-tindakan ceroboh presiden mengharuskan terjadinya pemakzulan. Ia tidak memberi kami pilihan,” jelas Pelosi.

Voting yang berlangsung Rabu malam (19/12) mengakhiri penyelidikan DPR yang berlangsung tiga bulan. Penyelidikan yang dimulai dengan adanya laporan seorang pembocor rahasia yang menuduh Trump menahan bantuan militer untuk Ukraina senilai hampir 400 juta dolar yang telah disetujui Kongres untuk kepentingan politik pribadi. Trump memanfaatkan bantuan itu mendesak pemimpin Ukraina agar menyelidiki saingan politiknya, Joe Biden, dan putranya, Hunter, sebuah langkah yang menurut fraksi Demokrat membahayakan demokrasi Amerika.

Adam Schiff, Ketua Komite Intelijen DPR, mengatakan, "Di Amerika, tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum. Donald J. Trump mengorbankan keamanan nasional dalam usaha mencurangi pemilu mendatang. Dan karena itu, dan karana usahanya yang berlanjut untuk mengusahakan campur tangan asing dalam pemilu kita, ia harus dimakzulkan.”

Menanggapi DPR yang memakzulkan dirinya, Trump mengatakan voting itu secara politik tidak akan merugikan dirinya, melainkan fraksi Demokrat.

"Dengan melangsungkan pemakzulan yang ilegal dan partisan, fraksi Demokrat yang tidak ada kerjaannya menyatakan kebencian mereka yang dalam terhadap para pemilih. Ini bunuh diri politik bagi mereka,” jelasnya.Seluruh anggota fraksi-Republik di DPR masih tetap setia kepada presiden, dengan beragumentasi bahwa fraksi Demokrat berusaha membatalkan hasil pemilu 2016.

"Mereka tidak bisa menunjukkan bukti nyata yang melandasi tuduhan mereka terhadap Trump. Presiden tidak bersalah dalam masalah ini,” kata Doug Collin, anggota DPR dari fraksi Republik.

Tidak hanya anggota DPR yang terpecah. Jajak-jajak pendapat menunjukkan, Sekitar 43 persen publik Amerika mendukung Trump, sementara setengah publik Amerika mendukung pemakzulan.

"Ada perubahan signifikan dibandingkan pemakzulan sebelumnya. Ini tidak berarti kepresidenan Trump akan berakhir lebih awal. Kita, di Amerika Serikat, begitu partisan. Polarisasi partai begitu kuat sehingga pemakzulan bukan lagi kekuatan. Tidak berfungsi seperti itu,” kata Larry Sabato dari Universitas Virginia.

Meski diperkirakan Trump akan terus memegang jabatannya, pemakzulan merupakan peristiwa yang jarang terjadi dalam sejarah politik AS dan kini merupakan noda permanen dalam catatan kepresidenan Trump. [ab/lt]