Penampilan mantan presiden Donald Trump dalam beberapa acara publik baru-baru ini di mana ia tampak mengamini teori konspirasi QAnon, meningkatkan kekhawatiran di kalangan sebagian anggota parlemen, veteran penegak hukum dan pakar kultus.
Trump memasang sebuah foto dirinya mengenakan pin kerah “Q” yang dibawahnya tertera frasa QAnon “The Storm is Coming” dan “WWG1WGA” – singkatan dari “Where We Go One, We Go All – di akun Truth Social miliknya pada 12 September lalu.
Menurut Alex Kaplan, peneliti senior di Media Matters for America, suatu badan pengawas media sayap kiri, mengatakan sejak meluncurkan media sosial itu, Trump memiliki sedikitnya 50 akun terpisah yang mempromosikan QAnon.
Sementara John Sabal, penyelenggara konferensi yang berfokus pada QAnon, memasang di saluran Telegram-nya bahwa “untuk berjaga-jaga jika ada yang saat ini masih belum JELAS, Presiden Trump sendiri membuat dirinya tidak dapat disangkal lagi bahwa ia 100 persen selaras dengan operasi Q.”
Sabal sebelumnya menyatakan militer Amerika berkewajiban mencopot Presiden Joe Biden dari jabatannya, yang ia sebut sebagai “orang yang tidak jujur.” Sabal dikenal sebagai pembuat teori konspirasi.
Apakah QAnon?
QAnon memulai debutnya lima tahun lalu di platform online pinggiran. Pernyataan samar dan menyesatkan berulangkali diposting oleh komentator anonim yang dikenal sebagai “Q,” yang mengaku sebagai orang dalam pemerintah Amerika Serikat.
Berdasarkan pesan tersebut, banyak pengikut gerakan itu yang menjadi percaya bahwa Trump terlibat dalam perang rahasia melawan musuh “bagian dalam negara,” termasuk mantan calon presiden Partai Demokrat Hillary Clinton, yang dikalahkan Trump pada tahun 2016.
Menurut teori konspirasi yang aneh itu, Clinton dan tokoh-tokoh lain Partai Demokrat adalah bagian dari komplotan pemuja setan yang menculik anak-anak untuk dilecehkan, dan bahkan untuk dimakan.
Meskipun tidak secara terbuka meniru keyakinan itu, Trump seringkali tanpa bukti yang kredibel mendukung teori konspirasi terkait lainnya. Termasuk di antaranya bahwa hasil pemilu presiden tahun 2020 telah diubah untuk mencegahnya kembali memerintah pada masa jabatan kedua.
“Sekelompok orang keji yang korup, globalis yang haus kekuasaan, sosialis dan ekstremis liberal di Washington telah mengobarkan perang terhadap pekerja keras di Ohio,” ujar Trump dalam rapat umum di Youngstown pada 17 September lalu.
“Ancaman terbesar kami tetap orang sakit, orang jahat, dan mereka-mereka yang jahat di dalam negara kita sendiri.”
Lagu QAnon Berkumandang di Rapat Umum Trump
Melodi yang dimainkan dalam acara di Ohio itu hampir sama dengan lagu kebangsaan yang berjudul “WWG1WGA” atau “Where We Go One, We Go All.” Lagu yang sama sebelumnya terdengar di acara rapat umum Trump yang lain di negara bagian Pennsylvania dan dalam sebuah video yang dirilis baru-baru ini terkait mantan presiden itu.
Saat lagu tersebut dimainkan dalam acara di Youngstown, banyak penonton yang mengajukan jari telunjuk ke udara, yang menurut sejumlah pengamat dalam slogan QAnon berarti “satu.”
Sebagian komentator online, termasuk Walter Shaub yang merupakan mantan direktur Badan Etik Pemerintah AS, membandingkan citra itu dengan demonstrasi fasis tahun 1930an dan 1940an.
Sejumlah pengguna media sosial menilai gerakan itu, yang sebelumnya tidak terlihat dalam rapat umum Trump, terlalu samar untuk secara definitif dikaitkan dengan gerakan QAnon; dan mengatakan hal tersebut mungkin merujuk pada tema “America First” yang digaungkan Trump sejak mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2015.
Penghormatan itu juga diidentikkan dengan kelompok non-politis Salvation Army, sebuah gerakan Kristen yang didirikan pada pertengahan abad ke-19.
“Berita palsu, dalam upaya menciptakan kontroversi dan memecah belah Amerika, membuat konspirasi lain tentang lagu bebas royalti dari platform perpustakaan audio popular,” ujar Taylor Budowich, juru bicara kantor pasca-presiden Trump kepada VOA, menanggapi pertanyaan yang mencoba mengklarifikasi tentang musik dan sikap salut dalam beberapa rapat umum Trump.
Berbicara di stasiun televisi CNN, mantan anggota Kongres dari Partai Republik, Barbara Comstock, mengatakan acara di Ohio itu adalah “festival QAnon.” Ia mencatat terdapat pemutaran “musik QAnon yang aneh” dalam rapat umum tersebut dan gerakan yang bahkan mengabaikan keberadaan Trump. Comstock menyebut rapat umum itu sebagai “kekecewaan terakhir sebuah kultus yang hampir sekarat.”
Mantan Pejabat FBI Khawatir
Mantan asisten direktur Biro Penyidik Federal (FBI) Frank Figliuzzi menilai Trump merangkul gerakan QAnon dengan putus asa, dan tanpa menyadari betapa berbahayanya gerakan itu.
“Saya pikir ia tidak hanya mengetahuinya. Tetapi saya kira itulah yang membuatnya tertarik pada hal ini. Ini seperti ngengat dalam nyala api,” ujarnya di stasiun televisi MSNBC.
Ia menambahkan bahwa dengan berbagai masalah hukum yang sedang dihadapi Trump, ketertarikannya pada QAnon dapat dibandingkan sebagai “tindakan terakhir orang yang tengah putus asa.”
Mantan pejabat FBI itu juga menyampaikan keprihatinannya bahwa Trump, yang dianggap sebagai pemimpin politik aliran sesat itu, dalam keputusasaannya akan menganjurkan kekerasan.
“Para anggota aliran ini akan mengambil langkah dan memaksakan kehendak apapun, ujarnya seraya menambahkan “itulah yang membuat saya khawatir, dan kami telah belajar dari insiden 6 Januari bahwa hanya dibutuhkan sejumlah kecil orang untuk melakukan aksi kekerasan itu.”
BACA JUGA: Pengacara Trump Tolak Katakan Apakah Trump Sudah Deklasifikasi Dokumen yang Disita FBIPada 6 Januari 2021 ribuan pendukung Trump menyerbu gedung Kongres Amerika Serikat dalam upaya mencegah anggota parlemen mengesahkan hasil penghitungan suara pemilu presiden yang dimenangkan oleh Joe Biden dari Partai Demokrat. Lebih dari 900 orang telah ditangkap dan didakwa melakukan kejahatan terkait dengan serangan itu.
Sebagai presiden, pada tahun 2020 Trump mengatakan ia tidak tahu banyak tentang QAnon, dan menambahkan bahwa ia tidak dapat menyangkal teori konspirasi aliran itu. “Jika saya dapat membantu menyelamatkan dunia dari masalah, saya akan melakukannya,” ujar Trump ketika ditanya apakah ia sejalan dengan keyakinan QAnon dan menyelamatkan negara dari kultus pemuja setan penyelundup anak-anak.
Menurut kajian yang dirilis Februari lalu, sekitar 16 persen warga AS adalah pengikut QAnon. Situs berita online Grid News bahkan melaporkan bahwa tahun ini sekitar 80 kandidat yang percaya pada QAnon telah menguasai jabatan politik di 26 negara bagian, termasuk calon gubernur dari Partai Republik di negara bagian Maryland. [em/rs]