Tsunami Telah Berlalu 20 Tahun, Aceh Masih ‘Terbelenggu’ Kemiskinan

Masyarakat mengunjungi Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, Aceh, 23 Desember 2024. (Willy Kurniawan/REUTERS)

Perekonomian di Provinsi Aceh terporak-poranda usai diguncang gempa bumi dan tsunami pada tahun 2004. Berkat bantuan internasional dan alokasi Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA), Aceh mulai bangkit. Tetapi ironisnya meski sudah dua dekade berlalu, Serambi Makkah itu masih terbelenggu kemiskinan.

Selain menewaskan hampir seperempat penduduk Aceh ketika itu, gempa bumi dan tsunami yang menghantam wilayah pesisir Aceh pada 26 Desember 2004 turut menghancurkan infrastruktur dan perekonomian lokal provinsi itu.

Bantuan internasional yang terus mengalir pasca bencana itu, dan alokasi Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) sejak tahun 2008 menjadi salah satu instrumen penting dalam mendukung rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh. Meskipun demikian kemiskinan tak benar-benar bisa diberantas.

Your browser doesn’t support HTML5

Tsunami Telah Berlalu 20 Tahun, Aceh Masih ‘Terbelenggu’ Kemiskinan

Pakar ekonomi dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Prof.Dr. Mukhlis Yunus, mengatakan Aceh sudah menunjukkan kemajuan ekonomi pascatsunami 20 tahun silam, tetapi masih jauh dari potensi maksimalnya. Usai dihantam gempa dan tsunami pada 2004, perekonomian Aceh perlahan tumbuh dari -10 persen menjadi sekitar 5 persen.

“Perkembangan perekonomian Aceh pasca-tsunami 20 tahun lalu sedikit fluktuatif. Namun tetap mencerminkan transformasi besar yang tak lepas dari upaya konkret rekonstruksi pengelolaan sumber daya alam dan kebijakan pemerintah dengan berbagai dinamika tantangan struktural lainnya,” katanya kepada VOA, Senin (16/12).

Gambar gabungan menunjukkan kerusakan di depan masjid Baiturrahman yang disebabkan oleh tsunami, 27 Desember 2004 (kiri), dan taman di depan masjid yang sama, 22 Desember 2024 (kanan), di Banda Aceh. (Beawiharta/Willy Kurniawan/REUTERS)

Ada beberapa faktor penyebab utama yang membuat perekonomian Aceh sulit bangkit pascatsunami dua dekade lalu. Pertama, ketergantungan pada dana otsus tanpa diikuti oleh inovasi ekonomi. Ketergantungan itu menciptakan siklus yang sulit diputus, apalagi dana otsus akan berakhir pada 2027.

“Ketergantungan fiskal terasa bahwa perekonomian Aceh sangat tergantung dengan dana otsus yang seharusnya dimanfaatkan untuk investasi jangka panjang. Sebagian besar dana otsus justru digunakan untuk belanja-belanja konsumtif. Dana otsus juga belum mendorong diversifikasi ekonomi yang signifikan sehingga Aceh masih bergantung pada sektor tertentu seperti pertanian,” jelasnya.

Mengapa Aceh Masih Miskin?

Minimnya investasi swasta ini akibat berkelindannya kerumitan birokrasi, ketidakpastian hukum dan stereotip bahwa Aceh masih belum aman dan memberlakukan hukum syariah Islam yang ketat.

Anak-anak memancing di depan reruntuhan Masjid An Nur di Lhok Seudu, di pinggiran Banda Aceh, 22 Desember 2024. (Willy Kurniawan/REUTERS)

“Iklim-iklim investasi yang kurang kondusif disebabkan oleh regulasi yang masih rumit. Adanya konflik lahan dan isu keamanan di beberapa daerah masih menjadi hambatan investor-investor,” ungkap Mukhlis.

Selama ini Provinsi Aceh sangat mengandalkan sektor pertanian untuk meningkatkan perekonomian. Sebenarnya Serambi Makkah memiliki potensi besar di sektor energi seperti migas. Hanya saja kontribusi sektor energi terhadap perekonomian lokal masih belum optimal.

Pakar ekonomi dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Prof.Dr. Mukhlis Yunus. (Courtesy: dokumen pribadi)

Mukhlis mengatakan Provinsi Aceh harus mengembangkan sektor pariwisata berbasis budaya dan ekowisata termasuk wisata tsunami. Kemudian, sektor kelautan, perikanan, dan ekonomi kreatif juga harus dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian Aceh.

“Pembangunan berbasis keberlanjutan harus diupayakan dengan cara mengoptimalkan potensi ekonomi kelautan dan pariwisata berbasis ekologi. Lalu, pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk menciptakan ekonomi berbasis masyarakat,” ujarnya.

Mukhlis menyarankan agar Pemerintah Aceh fokus menciptakan kemandirian ekonomi dengan membangun sektor-sektor unggulan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan memperbaiki tata kelola anggaran. Langkah-langkah itu membuat Aceh memiliki peluang besar untuk keluar dari sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia.

“Kemiskinan itu disebabkan oleh tata kelola yang masih buruk. Korupsi dan inefisiensi (pemborosan) pengelolaan anggaran yang kurang transparan dan kasus-kasus korupsi dirasakan ikut menghambat pembangunan pada berbagai level,” tandas Mukhlis.

BPS : 14,23 persen Warga Aceh Miskin

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Ahmadriswan Nasution, menjelaskan tingkat kemiskinan di Bumi Serambi Makkah pada tahun 2024 sebesar 14,23 persen atau setara dengan sekitar 804.530 orang.

“Tingkat kemiskinan itu lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya mencapai 14,45 persen. Artinya ada turun sekitar 0,22 basis poin,” katanya saat ditemui VOA di Banda Aceh, Senin (16/12).

Ikan-ikan dijemur di Lhok Seudu, di pinggiran Banda Aceh, salah satu daerah yang rusak parah akibat Tsunami Samudra Hindia tahun 2004, Indonesia, 22 Desember 2024. (Willy Kurniawan/REUTERS)

Ahmadriswan juga mengungkapkan penurunan angka kemiskinan di Aceh sangat impresif dalam kurun waktu 20 tahun terakhir pascatsunami.

“Pascatsunami itu angka kemiskinan sekitar 28,69 persen. Sekarang bisa turun di angka 14,23 persen. Itu turun 50 persen (dari 28,69 persen ke 14,23 persen) selama 20 tahun. Ini tidak terlepas dari program pemerintah memberikan dana otsus, itu memberikan efek. Ke depan harus lebih signifikan lagi penurunannya,” ungkapnya.

Aceh saat ini menduduki peringkat ke-10 provinsi termiskin di Indonesia. Garis kemiskinan per kapita yaitu Rp661.227 per bulan. Selanjutnya, garis kemiskinan per rumah tangga yakni Rp3.431.768 per bulan.[aa/em]