7 Tahun Setelah Pergolakan Mesir, Harapan Demokrasi Masih Jauh

Pemerintahan Jenderal Abdel Fattah el-Sisi dituduh terlibat banyak pelanggaran HAM (foto: ilustrasi).

Tujuh tahun yang lalu, ribuan rakyat Mesir turun ke jalan untuk memprotes pemerintah yang dipimpin Presiden Hosni Mubarak. Ketika Mubarak digulingkan dari jabatannya, dan pemilu demokratis menghasilkan pemimpin sipil pertama di negara itu sejak beberapa dekade, dan ada harapan bagi perubahan politik yang langgeng.

Tapi pekan ini presiden Mesir dengan tegas memperingatkan oposisi ia tidak akan mentolerir rencana oposisi memboikot pemilu nasional, setelah kandidat independen mengundurkan diri dari persaingan. Kini, para analis politik mengatakan harapan itu telah memudar.

Jenderal Abdel Fattah al-Sisi memenangkan kursi kepresidenan dalam pemilu 2014, setelah memimpin kudeta militer yang menggulingkan pendahulunya, Mohamed Morsi. Sejak saat itu, para kritikus mengatakan pemerintah Sisi terlibat dalam pelanggaran HAM, memenjarakan wartawan dan anggota oposisi.

"Selama rezim ini tidak mau membuka ruang politik, saya kira kita akan menyaksikan berlanjutnya status quo yang merupakan tekanan tingkat tinggi, dan adanya semacam parlemen tapi sebenarnya hanya sandiwara," kata Shadi Hamid, analis senior pada Brookings Institute di Washington.

Pekan ini, beberapa kelompok oposisi ikut menyerukan pemboikotan pemilu 26-28 Maret. Mereka menyebutnya sandiwara, setelah enam kandidat mengundurkan diri. Satu-satunya penantang Sisi sekarang adalah Mousa Mustapha Mousa, pemimpin partai politik Ghad, yang sebelumnya mendukung pencalonan Sisi. [my/ii]