Berbagai elemen kaum perempuan bersatu turun ke jalan Jumat siang (8/3), bukan sekedar untuk merayakan Hari Perempuan Internasional, tetapi juga menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab mengatasi persoalan pelik yang masih dihadapi perempuan.
Mengambil momen Pemilu 2019 ini, “Panggung Politik Independen Perempuan” menjadi tema utama Internasional Women’s Day (IWD) 2019. Lebih dari 65 organisasi masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Bersama Perempuan Tuntut Ruang Hidup Demokratis, Sejahtera, Setara dan Bebas Kekerasan melakukan long march dari Patung Kuda hingga menuju Taman Aspirasi di depan Istana Merdeka, Jakarta.
Pengunjukrasa Sorot Delapan Isu Utama Perempuan
Dalam melakukan aksi long march ini, peserta aksi juga sempat berorasi di depan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, dan juga di depan kantor Mahkamah Konstitusi. Dalam orasi tersebut mereka menyerukan delapan tuntutan akar permasalahan perempuan yaitu: perempuan dan ketenagakerjaan; perempuan dan pendidikan; perempuan dan kekerasan seksual; perempuan dan kesehatan; perempuan, identitas dan ekspresi; perempuan, ruang hidup dan agrarian; perempuan, kebijakan dan perlindungan hukum; perempuan, media dan teknologi.
Juru Bicara Komite IWD 2019 Lini Zurlia mengatakan, delapan pokok permasalahan itulah yang utamanya harus segera diselesaikan oleh pemerintah dan semua pihak. Ia melihat bahwa selama ini pemerintah tidak berpihak kepada perempuan. Ini terlihat dari banyaknya kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang masih mendiskriminasikan kaum perempuan dan kaum minoritas.
“(Negara gagal?) Bisa dibilang demikian, negara masih menggunakan perempuan sebagai “perhiasan.” Oh ada gender equalities dalam SDGs, ah supaya kita terlihat ngomongin ya sudah kita buat program. Tapi secara substantif, produk hukum, produk kebijakan kita itu sama sekali belum ramah terhadap peremuan dan kelompok minoritas lainnya. Kita mendorong konvensi ILO, mengesahkan RUU PKS. Itu PR utama banget, mengesahkan RUU perlindungan pekerja rumah tangga itu juga sangat penting sekal. Dan politik electoral ini gak mampu menjawab persoalan perempuan tersebut,” ujarnya di sela-sela aksi IWD 2019, di Taman Aspirasi, Jakarta, Jumat (8/3).
Komnas Perempuan: Perjuangan Perempuan Panjang dan Berliku
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus mengatakan perjuangan pemenuhan hak dan perlindungan kaum perempuan di Indonesia ini diakuinya masih sangat panjang dan berliku. Oleh karena itu aksi-aksi seperti ini menurutnya harus terus digaungkan agar suara perempuan didengar pemerintah, apalagi dari tahun ke tahun kekerasan terhadap perempuan bukannya berkurang, malah semakin bertambah.
“Misalnya tentang pekerja perempuan di pekerja migran, pekerja pabrik, ya masih masih banyak yang belum memenuhi haknya, seperti cuti haid dan sebagainya. Saya rasa kalau itu sudah terpenuhi gak mungkin juga mereka menyuarakan itu. Masa’ masih ada kampanye 16 Hari Anti Kekerasan itu terus digaungkan setiap tahun? Itu juga ada kemajuan sedikit misalnya semakin banyak dari pekerja pabrik, dan juga generasi muda membuat mekanisme pengaduan untuk mengajak supaya mereka yang mengalami kekerasan itu berbicara, bentuk kekerasan apapun. Tetapi itu kan masih butuh panjang banget ya, masih panjang sekali. Nah, di sini kehadiran negara sangat diperlukan sekali,” jelas Magdalena.
Partisipasi Aktif Perempuan dalam Pembangunan Suatu Keniscayaan
Sementara itu, Dian Septi Trisnanti dari Departemen Perempuan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menyoroti partisipasi kaum perempuan di berbagai sektor pembangunan yang masih dirasa kurang. Menurutnya hal itu dikarenakan Indonesia masih dipenuhi oleh kaum oligarki atau kaum yang memiliki kekuasaan dan uang sehingga kerap mendominasi dalam berbagai sektor seperti contohnya politik. Dengan itu, kata Dian, para perempuan khususnya dari akar rumput tidak punya kesempatan dan suara untuk memperjuangkan hak-haknya.
Guna menjawab persoalan itu, Dian mengajak seluruh elemen perempuan untuk berorganisasi, mulai dari tingkat RT/RW hingga ke tingkat negara. Menurutnya aktif dalam organisasi tersebut, kaum hawa ini bisa unjuk gigi dan lebih kritis dalam bersikap sehingga diharapkan kedepan tidak akan ada lagi diksriminasi.
“Berorganisasilah, karena kekuatan kita menjadi besar ketika kita bersatu. Perubahan itu tidak berjalan sendirian. Perubahan itu bisa terbentuk karena kita bersama-sama dan merebut ruang atau posisi penting dari tingkat RT sampai ke tingkat negara. Sebenarnya kuota 30 persen di parlemen itu bagus sebagai afirmatif, tapi karena adanya UU politik yang diskriminatif yang hanya memberi ruang kepada orang-orang kaya dan bermodal maka kemudian itu masih didomonasi oleh kekuatan oligarki. Tapi sebenarnya itu bisa dimulai di ranah keluarga, jadi kaum perempuan yang ada di rumah, harus fight, dalam artian dalam setiap pengambilan keputusan baik dalam keluarga, RT, RW. Harus masuk dan mengambil alih, harus ikut campur dalam setiap pengambilan keputusan. Tidak bisa untuk tidak speak up. Bicaralah,” tegas Dian.
Pengunjukrasa Desak Diloloskannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Penyintas kekerasan seksual Rizky Amelia yang juga hadir dalam aksi ini, menyuarakan harapannya agar Presiden Jokowi segera mengesahkan RUU PKS. Apalagi kekerasan seksual di lingkungan pekerjaan yang dialaminya juga banyak dialami oleh perempuan lainnya. Presiden Jokowi, kata Amel harus berkaca kepada negara sekelas Ruwanda yang sudah mengesahkan RUU PKS sejak tahun 2009 yang berdampak efektif memberantas kekerasan sehingga kaum perempuan di Ruwanda saat ini justru yang memajukan perekonomian negaranya.
“Kita harus mencontoh Ruwanda yang terbelakang, tapi sekarang bisa lebih maju dari Abu Dhabi. Jadi mereka memberdayakan perempuannya dengan tidak ada pelecehan atau kekerasan seksual ketika perempuan itu bersekolah, pendidikan maupun berkarir. Indonesia harus berkaca kepada Rwanda. Dengan RUU PKS Indonesia juga dapat memajukan perekonomian, maupun pendidikan, dengan mengerahkan semua perempuannya, membudayakan, dan mengajarkan kepada perempuan untuk bersikap mandiri,” papar Amel. [gi/em]