"Tusuk Konde" dan Dunia Ekstrim Manusia Jawa

  • Wella Sherlita

Salah satu adegan dalam "Tusuk Konde" yang dipentaskan di TIM, Kamis 4 November 2010.

Sutradara Garin Nugroho memberikan interpretasi lain kisah Ramayana dalam Opera Jawa lakon “Tusuk Konde” yang ditampilkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Lakon “Tusuk Konde” adalah satu dari trilogi Opera Jawa, karya sutradara film Garin Nugroho, yang ditampilkan di Taman Ismail Marzuki (TIM), pada Kamis malam lalu. Kisah yang diangkat dari epik Ramayana ini berpusat pada cinta segitiga antara Rama, Sinta, dan Rahwana.

Meskipun berjudul “Opera Jawa”, keragaman bunyi dan irama sangat terasa pada musik gubahan komponis kenamaan Rahayu Supanggah, yang sukses menggarap musik untuk pertunjukkan musikal “I La Galigo” di Asia dan Eropa, beberapa tahun lalu. Tata musik yang rapi itu berpadu sempurna dengan vokal Peni Candra Rini, sang penembang.

Kisah ini berakhir tragis, manakala Sinta dibunuh dengan tusuk konde oleh Rama, suaminya sendiri. Garin Nugroho, sutradara yang sering menggarap tema-tema kontemporer dalam sinema Indonesia, menafsirkan tusuk konde lebih dari sekedar perhiasan perempuan.

Sutradara Garin Nugroho memberikan interpretasi lain kisah Ramayana dalam “Opera Jawa”, lakon “Tusuk Konde”, dengan mengangkat kisah cinta segitiga dalam dunia Jawa dewasa ini yang multikultur, sekaligus menghadapi problema antara nilai-nilai tradisional dan moderen.

Interpretasi Garin atas kisah Ramayana: cinta segitiga antara Rama, Sinta, dan Rahwana.

“Sinta bisa berarti tanah yang diperebutkan, tanah yang meledak, yang gempa bumi, bisa juga menjadi kesucian manusia yang diperebutkan (oleh Rama dan Rahwana). Rama adalah simbol kebaikan yang memperebutkan bumi atau kesucian, tapi ada ketidakberdayaan pada kebebasan itu, yang berujung pada marah dan frustrasi. Itu tragedi juga ‘kan?” kata Garin.

Yang paling menarik, kisah yang penuh gairah ini tidak jatuh menjadi sesuatu yang klise. Musik pun tidak sebatas gamelan dan tembang, tetapi juga bunyi-bunyian khas Bali , Sunda, Nias, hingga seruling Minangkabau, yang dapat dinikmati di setiap adegan, oleh sekitar 300 penonton.

Kain batik yang dipakai para penari, juga berpadu seenaknya dengan jeans dan topi koboi yang dikenakan Eko Supriyanto sebagai Rahwana. Tidak ketinggalan seni instalasi karya Heri Dono, yang ikut menghidupkan latar panggung.

Tradisional bertemu dengan modern adalah konsekuensi budaya Jawa dewasa ini. Konsekuensi yang dilematis namun tetap harus dihadapi. Sejumlah seniman mengungkapkan apresiasinya atas karya Garin ini.

Selain masalah cinta segitiga, Garin juga mengangkat masalah 'Dunia Jawa' dewasa ini.

“Saya suka, lebih dari beberapa filmnya. Well-done! Dia menggunakan bahasa-bahasa kami dulu secara sempurna. Menurut saya, dia punya bahan-bahan yang baik, mulai dari pemain, dan musiknya… Saya kira dukungan dan ide-nya Garin itu, saya seolah-olah dibawa journey, masuk ke masa kecil dulu…” ungkap aktor Alex Komang.

Aktris Jajang C. Noer mengaku sangat menikmati karya tari Jawa kontemporer, meskipun ia sendiri bukan orang Jawa.

“Sudah lama saya tidak melihat tari-tarian Jawa yang baru, dan itulah Garin. Eko (Supriyanto) menari dengan bagus sekali. Juga perempuan (Sinta) bisa digambarkan kegatelan (karena berselingkuh), tetapi saya melihatnya secara visible (kasat mata) saja, saya tidak mau tahu apa maksud dibalik itu,” kata Jajang C. Noer.

Opera Jawa - “Tusuk Konde” ini pada September lalu sempat dipentaskan di Tropen Museum, Amsterdam , dan mendapatkan sambutan hangat dari pencinta seni di Eropa.