Twitter Dikecam karena akan Sensor Pesan

Twitter mengumumkan dalam blog-nya hari Kamis (26/1), bahwa mereka kini mampu menyensor pesan 'tweet' per negara.

Twitter, layanan mikrobloging popular, kini menghadapi kecaman setelah mengumumkan kemampuannya menyensor pesan atau “tweets” berdasarkan negara demi negara.

Salah satu pengecam Twitter, organisasi HAM media Reporters Without Borders hari Jumat mengirim surat ke perusahaan itu, menyampaikan apa yang disebutnya “keprihatinan mendalam”.

Direktur Reporters Without Borders di Washington, Delphine Halgand mengatakan kebijakan baru Twitter itu melanggar kebebasan mengutarakan pendapat. Ia menambahkan, orang di negara-negara yang mengalami gerakan anti-pemerintah dan aspirasi bagi demokrasi akan paling terpukul.

Pengguna Twitter juga menyatakan prihatin, sebagian bertekad ikut aksi hari Sabtu yang mereka sebut Blackout Twitter, atau tidak mengirim pesan hari itu.

Perusahaan berbasis di Amerika itu pekan ini mengumumkan dalam blognya bahwa mereka belum menggunakan kemampuan menghapus pesan itu, tapi jika sudah, pemberitahuan akan muncul bagi pengguna yang menyatakan bahwa pesan disimpan guna mematuhi hukum negara di mana penggunanya berada.

Sebelumnya, isi Twitter yang dihapus akan lenyap di seluruh dunia. Menurut Twitter, dengan metode barunya, tweet yang dilarang di negara tertentu tetap akan tersedia di negara-negara lain di dunia.

Pendekatan ini berlawanan dengan pernyataan Twitter setahun lalu yang menyatakan "Pesan Harus Disampaikan," dengan janji tidak akan menyensor pesan Twitter sementara pesan itu membantu memicu gerakan anti-pemerintah di sejumlah negara Timur Tengah.

Dalam pengumuman terbarunya, Twitter mengatakan, sementara jangkauannya semakin besar di dunia internasional, perusahaan itu kini masuk ke negara-negara yang pandangannya berbeda mengenai batas-batas kebebasan mengutarakan pendapat. Dikatakan, hukum itu sedemikian rupa sehingga sama sekali tidak ada di sejumlah negara, sementara di negara lain memang mirip Amerika, tapi melarang topik-topik tertentu.

Twitter memberi contoh Perancis dan Jerman, di mana pidato pro-Nazi dilarang. Meskipun Twitter tidak menyebut negara-negara lain secara khusus, contoh lain mungkin adalah Thailand, di mana bicara buruk tentang kerajaan dilarang secara hukum.

Twitter tidak beroperasi di beberapa negara yang secara ketat mengawasi isi media, seperti di Tiongkok. Dalam suratnya, Reporters Without Borders mempertanyakan apakah keputusan Twitter, melakukan penyensoran berdasarkan negara demi negara, dimotivasi keinginan untuk menembus pasar Tiongkok.