Sebuah penelitian sedang dirintis untuk menerapkan strategi baru memberantas demam berdarah dengan bakteri yang menghambat kemampuan nyamuk sebarkan penyakit.
YOGYAKARTA —
Para peneliti di program Eliminate Dengue Project (EDP) di fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sedang merintis metode pemberantasan demam berdarah dengue dengan menyasar langsung kepada siklus hidup nyamuk pembawa virusnya.
Para peneliti memasukkan bakteri wolbachia ke dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti, yang membuatnya kehilangan kemampuan untuk menularkan virus demam berdarah. Nyamuk yang sudah mengandung bakteri ini kemudian dikembangbiakkan di laboratorium.
Peneliti utama dalam proyek ini, Riris Andono Ahmad mengatakan Sabtu (25/1), setelah melalui serangkaian pembiakan, nyamuk yang telah mengandung bakteri ini dilepaskan ke sejumlah lokasi.
Pelepasan akan dilakukan berulang setiap seminggu sekali dalam 16-24 pekan ke depan, ujarnya. Proses ini sangat aman, menurutnya, karena bakteri yang digunakan sebenarnya sudah ada di lingkungan sekitar, terutama di sejumlah serangga.
“Kami juga sudah melakukan survei di wilayah penelitian kami…survei serangga, dan menemukan bahwa lebih dari 50 persen serangga yang kami tangkap itu mengandung wolbachia. Jadi ini bukan sebuah organisme yang asing, itu ada di alam dan sifatnya alami,” ujarnya.
Nyamuk yang dikembangkan di laboratorium diharapkan akan kawin dengan nyamuk Aedes aegypti liar, dan otomatis menularkar bakteri wolbachia ke nyamuk liar tersebut. Anak-anak dari perkawinan nyamuk itu akan membawa bakteri wolbachia di dalam tubuhnya dan tak akan bisa lagi menularkan virus demam berdarah. Demikian seterusnya, sehingga diharapkan seluruh nyamuk Aedes aegyti di alam akan tertular bakteri wolbachia.
“Teknologi ini, kalau kemudian kita berhasil menyebarkan wolbachia di populasi nyamuk di alam, maka itu akan berkesinambungan. Karena kemudian bakteri itu akan diturunkan terus menerus ke anaknya, sehingga anak turun dari nyamuk tadi tidak akan memiliki kemampuan untuk menularkan virus dengue. Dan dalam jangka panjang ini menjadi sebuah teknologi yang sangat murah, karena kita tidak perlu melakukan intervensi secara berulang-ulang,” ujar Riris.
Anto Sudadi, seorang kepala desa di Sleman, Yogyakarta, yang wilayahnya menjadi lokasi pelaksanaan program ini menyambut baik upaya yang dilakukan. Kebetulan saat ini di desanya sedang terjadi Kejadian Luar biasa (KLB) demam berdarah, ujarnya, dan sering berulang di pertengahan musim hujan setiap tahunnya.
Penyemprotan sudah dilakukan dan upaya kebersihan lingkungan juga terus digalakkan, tetapi virus demam berdarah tidak pernah benar-benar bersih dari desanya, ujar Anto.
Teknologi pemanfaatan wolbachia ini dikembangkan pertama kali di Monash University, Australia. Fakultas Kedokteran UGM dan Monash kemudian melakukan kerjasama penerapan metode baru ini di Indonesia, dimulai di Yogyakarta.
Sebelumnya, metode yang sama jua sudah diujicobakan di Vietnam dan memperoleh hasil positif. Diharapkan, Indonesia yang merupakan kawasan endemik demam berdarah dapat memperoleh manfaat positif dari uji coba ini ke depan.
Para peneliti memasukkan bakteri wolbachia ke dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti, yang membuatnya kehilangan kemampuan untuk menularkan virus demam berdarah. Nyamuk yang sudah mengandung bakteri ini kemudian dikembangbiakkan di laboratorium.
Peneliti utama dalam proyek ini, Riris Andono Ahmad mengatakan Sabtu (25/1), setelah melalui serangkaian pembiakan, nyamuk yang telah mengandung bakteri ini dilepaskan ke sejumlah lokasi.
Pelepasan akan dilakukan berulang setiap seminggu sekali dalam 16-24 pekan ke depan, ujarnya. Proses ini sangat aman, menurutnya, karena bakteri yang digunakan sebenarnya sudah ada di lingkungan sekitar, terutama di sejumlah serangga.
“Kami juga sudah melakukan survei di wilayah penelitian kami…survei serangga, dan menemukan bahwa lebih dari 50 persen serangga yang kami tangkap itu mengandung wolbachia. Jadi ini bukan sebuah organisme yang asing, itu ada di alam dan sifatnya alami,” ujarnya.
Nyamuk yang dikembangkan di laboratorium diharapkan akan kawin dengan nyamuk Aedes aegypti liar, dan otomatis menularkar bakteri wolbachia ke nyamuk liar tersebut. Anak-anak dari perkawinan nyamuk itu akan membawa bakteri wolbachia di dalam tubuhnya dan tak akan bisa lagi menularkan virus demam berdarah. Demikian seterusnya, sehingga diharapkan seluruh nyamuk Aedes aegyti di alam akan tertular bakteri wolbachia.
“Teknologi ini, kalau kemudian kita berhasil menyebarkan wolbachia di populasi nyamuk di alam, maka itu akan berkesinambungan. Karena kemudian bakteri itu akan diturunkan terus menerus ke anaknya, sehingga anak turun dari nyamuk tadi tidak akan memiliki kemampuan untuk menularkan virus dengue. Dan dalam jangka panjang ini menjadi sebuah teknologi yang sangat murah, karena kita tidak perlu melakukan intervensi secara berulang-ulang,” ujar Riris.
Anto Sudadi, seorang kepala desa di Sleman, Yogyakarta, yang wilayahnya menjadi lokasi pelaksanaan program ini menyambut baik upaya yang dilakukan. Kebetulan saat ini di desanya sedang terjadi Kejadian Luar biasa (KLB) demam berdarah, ujarnya, dan sering berulang di pertengahan musim hujan setiap tahunnya.
Penyemprotan sudah dilakukan dan upaya kebersihan lingkungan juga terus digalakkan, tetapi virus demam berdarah tidak pernah benar-benar bersih dari desanya, ujar Anto.
Teknologi pemanfaatan wolbachia ini dikembangkan pertama kali di Monash University, Australia. Fakultas Kedokteran UGM dan Monash kemudian melakukan kerjasama penerapan metode baru ini di Indonesia, dimulai di Yogyakarta.
Sebelumnya, metode yang sama jua sudah diujicobakan di Vietnam dan memperoleh hasil positif. Diharapkan, Indonesia yang merupakan kawasan endemik demam berdarah dapat memperoleh manfaat positif dari uji coba ini ke depan.