Umat Syiah di Sampang, Jawa Timur, masih tinggal di pengungsian tanpa bantuan makanan dan air serta kejelasan akan nasib mereka.
SAMPANG, MADURA —
Dikutuk sebagai kelompok sesat, komunitas sekitar 200 orang Muslim Syiah telah berbulan-bulan tinggal di pengasingan dalam gedung olahraga, setelah terusir dari desa mereka menyusul bentrokan mematikan dengan kelompok Sunni.
Agustus lalu, ratusan warga bersenjatakan arit dan pedang membunuh seorang pria Syiah dan membakar lebih dari 30 rumah, memaksa warga desa berlindung di dalam gedung olahraga.
Sejak saat itu, mereka tidur di atas alas tipis dengan dikerubuti lalat, berbagi toilet dengan warga lain serta menyantap makanan sederhana di gedung olahraga Sampang, Madura, Jawa Timur.
Masa depan mereka tampak lebih suram daripada sebelumnya.
Bulan lalu, pemerintah memangkas pasokan makanan dan minuman gratis, dengan alasan kurang dana. Selain itu, para pemimpin desa dan tokoh agama menuntut mereka pindah ke Islam Sunni atau diusir dari wilayah tersebut.
“Kami tidak ingin hidup sebagai pengungsi. Kami ingin kembali ke rumah secepat mungkin, ke desa tempat kami lahir. Namun sepertinya nasib kami sendiri bukan kami yang menentukan,” ujar Suleha, seorang ibu rumah tangga berusia 22 tahun pada kantor berita AFP.
“Bukankah kita semua Muslim? Kita percaya pada Tuhan yang sama, nabi-nabi yang sama, Quran yang sama. Kenapa kita tidak rukun dan hidup bersama dengan damai?”
Meski sebagian besar penduduk Indonesia dianggap merupakan Muslim moderat, namun kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan intoleransi terhadap umat agama lain telah meningkat di tengah keprihatinan kurangnya upaya untuk mengatasi hal tersebut.
Komisioner tinggi PBB untuk hak asasi manusia Navi Pillay memperingatkan bulan lalu bahwa Indonesia berisiko kehilangan budaya yang beragam dan toleransi “jika tidak ada tindakan tegas untuk mengatasi tingkat kekerasan dan kebencian yang meningkat terhadap minoritas serta interpretasi sempit dan ektremis mengenai Islam.”
Menurut sebuah laporan dari lembaga swadaya masyarakat Setara Institute of Peace, 308 peristiwa dalam paruh pertama tahun 2012 merupakan insiden melawan kelompok minoritas agama, termasuk Kristen, Ahmadiyah dan baru-baru ini, Budha.
Insiden-insiden yang termasuk serangan dan penutupan rumah ibadah dengan paksa, telah tumbuh secara stabil sejak 2009, ketika 491 kasus dilaporkan, menjadi 502 kasus pada 2010 dan 543 pada 2011, ujar Setara.
Serangan pada Agustus di Sampang merupakan yang terburuk atas kelompok minoritas Syiah di Indonesia, menurut Setara.
Tohir, 50, melihatnya adiknya tewas dan ia menderita luka fisik dan batik dari serangan tersebut.
“Perut saya sakit terus dan saya masih suka mimpi buruk,” ujar Tohir sambil merintih, memperlihatkan luka panjang di punggung dan perutnya akibat sabetan arit.
“Mereka melempar batu dan meneriakkan ‘Bakar rumah Syiah’ dan ‘Bunuh Syiah.’ Adik saya berusaha menenangkan mereka, namun malah dibunuh. Saya berlari menyelamatkannya tapi mereka juga menyerang saya,” ujarnya.
“Saya belum memaafkan mereka. Adik saya mati sia-sia. Saya ingin keadilan,” tambahnya.
Seorang pemimpin Sunni yang diyakini ada di balik penyerangan tersebut diadili bulan lalu, dengan dakwaan penyerangan dan pembunuhan, yang dapat dijatuhi hukuman penjara sampai 20 tahun.
Namun serangan semacam itu biasanya hanya mendapat hukuman ringan.
“Tak Akan Pindah Keyakinan”
Sunni dan Syiah sepakat dengan prinsip-prinsip fundamental Islam. Sunni yakin bahwa sahabat dekat Nabi Muhammad merupakan yang paling berhak memimpin umat Islam setelah Nabi wafat, sementara Syiah merasa menantu Nabi, Ali, merupakan pewaris yang sah.
Jumlah akurat pemeluk Syiah di Indonesia masih belum jelas karena mereka dipaksa untuk mempraktikkan kepercayaan mereka secara rahasia.
"Keyakinan mereka itu sesat. Di Sampang, mereka pergi ke desa-desa untuk menyebarkan ideologi mereka yang menyimpang dan membuat umat Sunni pindah ke Syiah,” ujar ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat Buchori Maksum.
“Merekalah provokator sebenarnya.”
Munaji, 46, kepala desa di Sampang, mengatakan bahwa warga Syiah tidak akan disambut baik di masyarakat.
“Syiah telah menyebabkan banyak kerusuhan. Kita tidak menyambut mereka dengan baik kecuali mereka kembali ke Islam Sunni,” ujarnya.
MUI di Jawa Timur mengeluarkan fatwa pada Januari yang menetapkan ajaran Syiah sebagai “menyimpang,” sebuah langkah yang dikecam sebagai represif oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia.
Seiring upaya pemerintah mencari solusi, umat Syiah mulai tidak sabar karena nasib mereka tidak menentu.
Iklil Al-Melal, 40, yang mewakili pengungsi Syiah di gedung olahraga, mengatakan bahwa kelompok tersebut menolak usul pemerintah daerah untuk relokasi.
“Pada Tahun Baru, kami berencana kembali ke desa. Kami siap dengan akibatnya,” ujarnya.
“Memangnya pemerintah bisa menjamin hidup lebih aman di tempat lain?”
Tanpa makanan dan air, warga Syiah telah berhenti mandi dan makan tidak teratur. Mereka mengumpulkan uang yang bisa didapat untuk membeli barang yang diperlukan.
Rohah, seorang ibu rumah tangga berusia 21 tahun, menjual cincin emasnya – satu-satunya barang yang dapat ia selamatkan dari rumahnya yang terbakar – untuk ikut menyumbang sekitar Rp 300.000. Yang lainnya, ujar Rohah, menjual sapi dan kambing.
"Saya belum mandi dua hari. Saya tidak punya uang untuk membeli susu, jadi bayi saya hanya minum air belakangan ini,” ujarnya.
“Saya tidak tahu masa depan seperti apa. Yang saya tahu saya tidak akan pernah mengubah keyakinan saya. Saya berdoa agar kelompok Sunni suatu hari nanti akan menerima saya.” (AFP)
Agustus lalu, ratusan warga bersenjatakan arit dan pedang membunuh seorang pria Syiah dan membakar lebih dari 30 rumah, memaksa warga desa berlindung di dalam gedung olahraga.
Sejak saat itu, mereka tidur di atas alas tipis dengan dikerubuti lalat, berbagi toilet dengan warga lain serta menyantap makanan sederhana di gedung olahraga Sampang, Madura, Jawa Timur.
Masa depan mereka tampak lebih suram daripada sebelumnya.
Bulan lalu, pemerintah memangkas pasokan makanan dan minuman gratis, dengan alasan kurang dana. Selain itu, para pemimpin desa dan tokoh agama menuntut mereka pindah ke Islam Sunni atau diusir dari wilayah tersebut.
“Kami tidak ingin hidup sebagai pengungsi. Kami ingin kembali ke rumah secepat mungkin, ke desa tempat kami lahir. Namun sepertinya nasib kami sendiri bukan kami yang menentukan,” ujar Suleha, seorang ibu rumah tangga berusia 22 tahun pada kantor berita AFP.
“Bukankah kita semua Muslim? Kita percaya pada Tuhan yang sama, nabi-nabi yang sama, Quran yang sama. Kenapa kita tidak rukun dan hidup bersama dengan damai?”
Meski sebagian besar penduduk Indonesia dianggap merupakan Muslim moderat, namun kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan intoleransi terhadap umat agama lain telah meningkat di tengah keprihatinan kurangnya upaya untuk mengatasi hal tersebut.
Komisioner tinggi PBB untuk hak asasi manusia Navi Pillay memperingatkan bulan lalu bahwa Indonesia berisiko kehilangan budaya yang beragam dan toleransi “jika tidak ada tindakan tegas untuk mengatasi tingkat kekerasan dan kebencian yang meningkat terhadap minoritas serta interpretasi sempit dan ektremis mengenai Islam.”
Menurut sebuah laporan dari lembaga swadaya masyarakat Setara Institute of Peace, 308 peristiwa dalam paruh pertama tahun 2012 merupakan insiden melawan kelompok minoritas agama, termasuk Kristen, Ahmadiyah dan baru-baru ini, Budha.
Insiden-insiden yang termasuk serangan dan penutupan rumah ibadah dengan paksa, telah tumbuh secara stabil sejak 2009, ketika 491 kasus dilaporkan, menjadi 502 kasus pada 2010 dan 543 pada 2011, ujar Setara.
Serangan pada Agustus di Sampang merupakan yang terburuk atas kelompok minoritas Syiah di Indonesia, menurut Setara.
Tohir, 50, melihatnya adiknya tewas dan ia menderita luka fisik dan batik dari serangan tersebut.
“Perut saya sakit terus dan saya masih suka mimpi buruk,” ujar Tohir sambil merintih, memperlihatkan luka panjang di punggung dan perutnya akibat sabetan arit.
“Mereka melempar batu dan meneriakkan ‘Bakar rumah Syiah’ dan ‘Bunuh Syiah.’ Adik saya berusaha menenangkan mereka, namun malah dibunuh. Saya berlari menyelamatkannya tapi mereka juga menyerang saya,” ujarnya.
“Saya belum memaafkan mereka. Adik saya mati sia-sia. Saya ingin keadilan,” tambahnya.
Seorang pemimpin Sunni yang diyakini ada di balik penyerangan tersebut diadili bulan lalu, dengan dakwaan penyerangan dan pembunuhan, yang dapat dijatuhi hukuman penjara sampai 20 tahun.
Namun serangan semacam itu biasanya hanya mendapat hukuman ringan.
“Tak Akan Pindah Keyakinan”
Sunni dan Syiah sepakat dengan prinsip-prinsip fundamental Islam. Sunni yakin bahwa sahabat dekat Nabi Muhammad merupakan yang paling berhak memimpin umat Islam setelah Nabi wafat, sementara Syiah merasa menantu Nabi, Ali, merupakan pewaris yang sah.
Jumlah akurat pemeluk Syiah di Indonesia masih belum jelas karena mereka dipaksa untuk mempraktikkan kepercayaan mereka secara rahasia.
"Keyakinan mereka itu sesat. Di Sampang, mereka pergi ke desa-desa untuk menyebarkan ideologi mereka yang menyimpang dan membuat umat Sunni pindah ke Syiah,” ujar ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat Buchori Maksum.
“Merekalah provokator sebenarnya.”
Munaji, 46, kepala desa di Sampang, mengatakan bahwa warga Syiah tidak akan disambut baik di masyarakat.
“Syiah telah menyebabkan banyak kerusuhan. Kita tidak menyambut mereka dengan baik kecuali mereka kembali ke Islam Sunni,” ujarnya.
MUI di Jawa Timur mengeluarkan fatwa pada Januari yang menetapkan ajaran Syiah sebagai “menyimpang,” sebuah langkah yang dikecam sebagai represif oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia.
Seiring upaya pemerintah mencari solusi, umat Syiah mulai tidak sabar karena nasib mereka tidak menentu.
Iklil Al-Melal, 40, yang mewakili pengungsi Syiah di gedung olahraga, mengatakan bahwa kelompok tersebut menolak usul pemerintah daerah untuk relokasi.
“Pada Tahun Baru, kami berencana kembali ke desa. Kami siap dengan akibatnya,” ujarnya.
“Memangnya pemerintah bisa menjamin hidup lebih aman di tempat lain?”
Tanpa makanan dan air, warga Syiah telah berhenti mandi dan makan tidak teratur. Mereka mengumpulkan uang yang bisa didapat untuk membeli barang yang diperlukan.
Rohah, seorang ibu rumah tangga berusia 21 tahun, menjual cincin emasnya – satu-satunya barang yang dapat ia selamatkan dari rumahnya yang terbakar – untuk ikut menyumbang sekitar Rp 300.000. Yang lainnya, ujar Rohah, menjual sapi dan kambing.
"Saya belum mandi dua hari. Saya tidak punya uang untuk membeli susu, jadi bayi saya hanya minum air belakangan ini,” ujarnya.
“Saya tidak tahu masa depan seperti apa. Yang saya tahu saya tidak akan pernah mengubah keyakinan saya. Saya berdoa agar kelompok Sunni suatu hari nanti akan menerima saya.” (AFP)