Uni Afrika Tidak Tolerir Perubahan Tidak Demokratis di Empat Negara Sahel

Moussa Faki Mahamat (tengah), Ketua Komisi Uni Afrika menyampaikan pidato pada upacara penutupan Sidang Biasa Majelis Uni Afrika ke-36 di markas besar Uni Afrika di Addis Ababa, Ethiopia pada Februari 19, 2023. (Foto: AFP/Amanuel Sileshi)

Uni Afrika pada Minggu (19/2) bersikeras pihaknya memiliki kebijakan “toleransi nol” atau “tidak mentolerir” perubahan inkonstitusional dengan tetap menskors empat negara yang dipimpin oleh militer.

Negara-negara Sahel, yaitu Burkina Faso, Guinea, Mali dan Sudan, dikenai sanksi oleh Uni Afrika setelah terjadinya kudeta dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun, Uni Afrika mengatakan siap membantu keempat negara itu kembali menegakkan demokrasi.

Komisaris Uni Afrika Untuk Urusan Politik, Perdamaian dan Keamanan Bankole Adeoye pada Minggu (19/2) mengatakan “majelis itu menegaskan kembali toleransi nol atau tidak mentolerir perubahan pemerintahan yang tidak konstitusional. Komisi ini siap mendukung negara-negara anggota untuk kembali ke tatanan konstitusional. Idenya adalah demokrasi harus mengakar, dipromosikan dan dilindungi.” Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers pada hari terakhir KTT Uni Afrika di Addis Ababa.

Ditambahkannya, “perlu ditekankan kembali bahwa Uni Afrika tetap tidak akan mentolerir segala cara tidak demokratis untuk kekuasaan politik.”

Delegasi berjalan melewati pajangan potret mantan Organisasi Persatuan Afrika (OAU), saat ini Uni Afrika, di markas besar Uni Afrika di Addis Ababa pada 19 Februari 2023. (Foto: AFP/Tony KARUMBA)

ECOWAS Tetap Kenakan Sanksi

Blok Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (Economic Community of West African States ECOWAS) juga mengatakan akan tetap mempertahankan sanksi terhadap tiga negara Sahel, yaitu Burkina Faso, Guinea dan Mali.

Para pemimpin Afrika Barat itu bertemu di sela-sela KTT Uni Afrika untuk meninjau langkah-langkah tersebut dan membahas kemajuan pemulihan pemerintahan sipil di ketiga negara itu.

“Otoritas Kepala Negara dan Pemerintah memutuskan untuk mempertahankan sanksi yang ada pada ketiga negara itu,” demikian petikan pernyataan yang ditandatangani pada Sabtu (18/2), tetapi baru dibagikan kepada publik pada Minggu (19/2).

ECOWAS juga memutuskan untuk memberlakukan larangan bepergian terhadap para pejabat pemerintah dan pemimpin senior di negara-negara tersebut.

BACA JUGA: Serangan Ekstremis di Burkina Faso, 32 Tewas

Kekhawatiran akan terjadinya pengambilalihan kekuasaan secara militer sebagaimana di beberapa negara Sahel, ECOWAS memberlakukan sanksi perdagangan dan ekonomi yang tegas terhadap Mali; tetapi hukuman terhadap Guinea dan Burkina Faso lebih ringan. Ketiga negara itu berada di bawah tekanan ECOWAS agar segera kembali ke pemerintahan sipil pada tahun 2024 bagi Mali dan Burkina Faso, dan tahun 2025 bagi Guinea.

Gejolak Politik Dorong Kudeta Berulang Kali

Junta militer merebut kekuasaan di Mali dan Burkina Faso di tengah kemarahan terhadap militer karena jatuhnya korban dalam pemberontakan yang merenggut ribuan nyawa dan memaksa jutaan orang meninggalkan rumah mereka.

Kudeta di Guinea memiliki penyebab yang berbeda, yang berakar dari kemarahan publik terhadap Presiden Alpha Conde karena otoritarianismenya.

Sementara Sudan dicengkeram gejolak politik dan ekonomi yang kian mendalam sejak kudeta oleh pemimpin Angkatan Darat Sudan Abdel Fattah Al Burhan pada tahun 2021 yang menggagalkan transisi ke pemerintahan sipil pasca penggulingan Omar Al Bashir tahun 2019. [em/jm]