Jumlah korban sipil, termasuk anak-anak, yang terbunuh atau cacat akibat ranjau darat dan bahan peledak di Myanmar meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 1.052 orang pada tahun 2023, ungkap Badan Urusan Anak-anak PBB (UNICEF) pada Rabu (3/4).
UNICEF mengatakan, ranjau darat dan bahan peledak sisa perang menyebabkan lonjakan 270% kematian dalam jumlah korban pada tahun 2023, termasuk 188 orang di antaranya tewas dan 864 orang cedera. Angka tersebut naik dari 390 korban pada 2022. Korban anak-anak mencakup lebih dari 20% dari keseluruhan korban ranjau darat tahun lalu.
Myanmar terus mengalami gejolak sejak junta militer mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang terpilih secara demokratis dalam kudeta pada tahun 2021. Konflik yang mengakhiri langkah menuju demokrasi itu menyebabkan Myanmar kini menjadi salah satu negara yang paling banyak terkontaminasi oleh ranjau darat di dunia.
Selama beberapa tahun terakhir, warga sipil bersenjata bersama sejumlah kelompok etnis bersenjata bergabung dalam melawan militer Myanmar. Kepemimpinan junta kini berada di bawah tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya setelah kekalahan di medan perang dalam serangan masif oleh kelompok pemberontak yang dimulai sejak Oktober lalu.
Your browser doesn’t support HTML5
UNICEF mengatakan bahwa ranjau darat dan bahan peledak lainnya digunakan secara membabi-buta oleh semua pihak dalam konflik yang semakin meningkat.
Juru bicara junta tidak menanggapi telepon dari kantor berita Reuters untuk berkomentar terkait hal ini.
Debora Comini, Direktur Regional UNICEF untuk Asia Timur dan Pasifik mengatakan, “Penggunaan ranjau darat tidak hanya tercela, tetapi juga ilegal di bawah hukum kemanusiaan internasional.”
Menurut data UNICEF, daerah agraris Sagaing menyumbang lebih dari 35% dari seluruh korban jiwa akibat ranjau darat pada tahun 2023. [ti/jm]