Dana Anak-anak PBB (UNICEF) mengatakan, Senin (30/12), serangan terhadap anak-anak di kawasan konflik telah meningkat tiga kali lipat sejak 2010, sehingga menjadikan dekade yang akan segera berakhir ini sebagai dekade yang paling banyak menelan korban jiwa anak-anak.
Direktur Eksekutif UNICEF, Henrietta Fore mengungkapkan kekecewaannya atas perang yang telah merenggut begitu banyak korban jiwa sehingga memaksa anak-anak mengungsi dan menghancurkan impian masa depan mereka.
"Sementara orang-orang bersiap merayakan datangnya Tahun Baru, saya berharap kita juga mengingat mereka yang sangat tidak beruntung. Saat ini, ada ratusan juta anak dan remaja di negara-negara dan kawasan-kawasan yang dikoyak konflik, mulai dari Suriah dan Yaman hingga Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah dan Nigeria,” katanya.
BACA JUGA: UNICEF: Anak-anak Pengungsi Rohingya Kehilangan Masa Depan yang LayakUNICEF telah memverifikasi lebih dari 170.000 pelanggaran berat terhadap anak-anak di kawasan konflik sejak 2011. Ini berarti lebih dari 45 pelanggaran setiap harinya selama 10 tahun terakhir.
Badan PBB itu khawatir jumlah anak yang tewas dan terluka akan meningkat karena konflik semakin sering terjadi, semakin keras dan semakin bertahan lama. Fore menggambarkan hidup anak-anak yang terjebak konflik sebagai mimpi buruk tak berkesudahan.
UNICEF melaporkan, serangan udara dan bom, termasuk ranjau dan mortir, telah menewaskan dan mencederai lebih dari 12.000 anak pada 2018. Pada tahun itu juga, badan itu telah memverifikasi lebih dari 24.000 pelanggaran keras terhadap anak-anak, termasuk pelecehan seksual, penculikan, perekrutan paksa sebagai anggota militer, dan serangan terhadap anak disekolah dan rumah sakit. [ab/uh]