Laporan media menyebutkan laki-laki itu berusia 80-an. Ia bersama para penganggur lainnya berdemonstrasi agar bisa bertemu menteri-menteri pemerintahan baru yang sedang berkunjung ke wilayah selatan di sekitar Gafsa. Aksi bakar diri yang dilakukannya Kamis sore itu memicu kerusuhan, di mana para pemuda melempari polisi dengan batu.
Itu merupakan aksi serupa yang dilakukan seorang pedagang sayur yang kecewa yang memicu demonstrasi meluas dan mencapai puncaknya pada revolusi Tunisia pada 14 Januari tahun lalu yang mengakibatkan pergolakan “Arab” yang lebih besar. Guru besar ilmu politik di Tunis Hamadi Radissi mengatakan faktor-faktor penyebab yang sama, yaitu kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, masih tetap ada saat ini.
“Tunisia sekarang sama seperti setahun sebelumnya, karena sekitar satu juta orang menganggur, tingkat kemiskinan 20 persen, 170.000 lulusan universitas mencari pekerjaan. Situasinya tidak berubah,” ujarnya.
Menggarisbawahi kekecewaan rakyat, Radissi mengatakan, banyak aksi unjuk rasa dan beberapa kasus bakar diri dalam setahun sejak diktator Tunisia Zainal Abidin Bin Ali digulingkan. Negara itu juga mengalami banyak pemogokan dan demonstrasi yang menyuarakan kekecewaan di bidang politik dan ekonomi.
Namun, para pengamat lain menunjuk kepada peristiwa-peristiwa yang lebih positif. Bulan Oktober lalu, Tunisia mengadakan pemilihan demokratis yang pertama untuk memilih anggota-anggota parlemen yang disambut sebagai contoh bagi dunia Arab oleh masyarakat internasional. Partai Islam Ennahdha yang beraliran moderat, yang dilarang di bawah kekuasaan Bin Ali, sekarang menjadi kekuatan politik besar dalam pemerintahan koalisi baru.
Hari Kamis, Menteri Luar Negeri Prancis Alain Juppe yang sedang berkunjung, menyambut baik peralihan demokrasi di negara itu dan mendukung pemerintahan baru.
Dalam pernyataannya kepada wartawan, Juppe mengatakan Prancis akan meningkatkan bantuannya untuk Tunisia. Ia mendorong investor dan wisatawan Prancis agar kembali berkunjung ke negara di Afrika Utara itu. Masyarakat internasional menjanjikan bantuan milyaran dolar. Tetapi sejauh ini, ujar Radissi, baru sedikit yang terealisir.
“Dalam enam bulan situasinya akan lebih memburuk. Eropa, Amerika, dan negara-negara Arab belum siap atau tidak tergesa-gesa memberi dana dan membantu pemerintahan baru, karena pemerintahan itu beraliran Islam. Jadi mereka menunggu, tetapi negara itu tidak bisa menunggu,” demikian paparnya.
Para pengamat lain jauh lebih optimistik mengenai masa depan Tunisia. Mereka melihat masalah yang sekarang ini sebagai kesulitan dalam masa-masa awal selagi negara itu memulai babak baru dalam sejarahnya.