Untuk Berantas Demam Keong, Kemenkes Fokus Pada Pencegahan

Seorang ibu membantu anaknya meminum obat untuk pengobatan penyakit schistosomiasis di Puskesmas Maholo, Lore Timur, Sabtu (11/2) (Foto: VOA/Yoanes Litha).

Dalam upaya memberantas schistosomiasis (demam keong), pemerintah lebih terfokus pada upaya pencegahan.

Sikap pemerintah ini tercermin dalam pernyataan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi. Ia mengungkapkan strategi utama dalam pemberantasan demam keong yang saat ini masih menjadi endemi di wilayah dataran tinggi Napu dan Bada, Kabupaten Poso, dan dataran tinggi Lindu Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, lebih kepada tindakan preventif.

Nadia menuturkan pihaknya senantiasa menggandeng berbagai sektor agar bisa melakukan pengendalian lingkungan secara komprehensif, termasuk memodifikasi aliran air di habitat keong yang menjadi penyebabnya. Selain itu, katanya, pihaknya juga melakukan komunikasi kepada masyarakat setempat untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, dan berhati-hati berkegiatan di tempat-tempat yang kemungkinan besar terdapat keong-keong itu.

Terkait seruan masyarakat Sulteng yang mendorong pemerintah dalam hal ini Kemenkes untuk segera memproduksi obat Praziquantel, Nadia mengatakan hal tersebut kemungkinan besar belum dapat dilakukan dalam waktu dekat.

Jubir Vaksinasi COVID-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmidzi. (Foto: VOA)

“Yang paling baik, kita segera menyelesaikan penyakit ini. Dukungan obat merupakan komitmen dari WHO untuk mengeradikasi penyakit yang sudah sangat jarang ini,” ungkap Nadia lewat pesan tertulis kepada VOA.

“Untuk produksi (obat prazinquantel) perlu proses lebih lama dan lebih panjang. Mungkin lebih baik kita mengoptimalkan upaya untuk mengeradikasi penyakit tersebut,” tambahnya.

Selain tindakan pencegahan, kata Nadia, pihaknya juga akan fokus melakukan pelacakan kasus, sehingga penularannya bisa cepat diputus. Kkasus endemi demam keong di Indonesia, katanya, sejauh ini hanya terjadi di provinsi Sulawesi Tengah.

Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University, Australia, mengungkapkan pemerintah perlu memberikan respons komprehensif terkait demam keong tersebut. Ia mengatakan, proses penularan penyakit yang masuk dalam kategori gangguan kesehatan tropis terabaikan ini tidak hanya terkait dengan aspek kesehatan, namun juga aspek lingkungan.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. (Foto: Dok Pribadi)

“Intinya adalah mencegah agar tidak ada kontak antara manusia dengan media dalam hal ini hewan keong yang membawa parasit. Ini terutama mengenai air yang terkontaminasi ataupun katakanlah rawa yang terkontaminasi,” ungkap Dicky kepada VOA.

Meski begitu, ia mengatakan, pengobatan massal juga perlu diperhatikan. Pemerintah harus mengembangkan obat yang efektif dan mudah dikonsumsi untuk anak, mengingat sebagian besar pengidapnya adalah anak-anak. Dicky sendiri mengakui bahwa untuk memproduksi obat demam keong di dalam negeri tidaklah mudah.

Pemerintah, menurutnya, harus mengupayakan kerja sama multilateral atau bilateral. Apalagi sejak pertengahan tahun lalu, kata Dicky, Eropa sudah membuka peluang kerja sama melalui mekanisme international public private partnership yang dipimpin oleh perusahaan obat terkemuka yang memang sudah memproduksi, obat demam keong.

“Ini yang perlu dielaborasi lebih lanjut oleh pemerintah dalam hal ini Kemenkes. Jadi jangan hanya berhenti di level nasional dan akhirnya menyerah, karena ini bicara suatu masalah yang sudah terlalu lama kita hadapi. Jadi, ada peluang lain di luar sana yang harus dijajaki,” tuturnya.

BACA JUGA: Ratusan Penderita Demam Keong Sulit Dapat Obat, Pemerintah Didorong Produksi Obat Praziquantel

Hal senada juga diutarakan oleh epidemiologdari Universitas Airlangga Windhu Purnomo. Menurutnya, pemerintah perlu menyelesaikan permasalahan endemi demam keong tersebut dari sisi hulunya terlebih dahulu, apalagi penyakit tersebut sudah menjadi masalah kesehatan di wilayah Sulteng sejak puluhan tahun lalu.

Sampai saat ini, katanya, Indonesia satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih mengalami endemi penyakit tersebut. Selain menganjurkan masyarakat untuk hidup lebih bersih, pemerintah harus bisa menyediakan air bersih.

Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo. (Foto: VOA)

“Tapi perilaku itu harus ditunjang oleh ketersediaan air bersih. Karena larva, itu bentuknya cacing kecil yang jadi parasit yang dibawa oleh keong kecil-kecil. Ketika kita suka mandi di Danau Lindo, karena danau itu oleh masyarakat suka dipakai untuk mandi, sebagian untuk air minum, cuci-cuci, dan macam-macam. Keongnya ada di situ. Makanya sebagian besar desa yang terkena itu di Poso yang dekat Danau Lindo, ada sekitar 20-an desa,” kata Windhu.

“Jadi ketersediaan air bersih dan sanitasi harus. Saya kira pemerintah sudah memberikan artinya membuat sumur-sumur bor yang menghasilkan air bersih, Cuma mengubah perilaku tidak gampang. Jadi orang kalau sudah biasa mandi di danau, ya dia sukanya di situ, gak senang mandi di kamar mandi,” tambahnya.

Selain mengubah perilaku masyarakat, pemerintah setempat juga perlu memeriksa hewan ternak, karena seringkali cacing penyebab penyakit ini menembus kulit sapi, kerbau maupun kambing.

Penyakit demam keong menempati urutan kedua setelah malaria sebagai penyakit parasit paling mematikan. [gi/ab]