Menurut World Alzheimer Report tahun 2019, sekitar 1,8 juta orang di Indonesia menderita demensia, dan angka ini diproyeksikan akan meningkat menjadi 7,5 juta pada 2050 akibat populasi yang semakin lanjut usia.
Demensia Alzheimer adalah gangguan pada proses kognitif seseorang dan berdampak pada emosi, daya ingat, perilaku dan fungsi otak lainnya.
Alzheimer’s Indonesia atau ALZI adalah anggota Alzheimer’s Disease International, yang berpusat di London dan mengadvokasi demensia sebagai prioritas global untuk meningkatkan kesadaran publik, penelitian dan perawatan, serta mendorong kebijakan publik.
Organisasi ini memprakarsai perbaikan kualitas hidup penderita demensia, serta keluarga dan pengasuh di Indonesia. Hal ini mengingat fakta bahwa demensia adalah jenis penyakit dimana perawatan pasien membutuhkan peran pengasuh dan keluarga yang lebih besar dibandingkan penyakit lain.
Untuk memperoleh gambaran bagaimana demensia ditangani di Indonesia, VOA menghubungi direktur eksekutif organisasi ini, Michael Dirk. Keunikan ALZI adalah usaha pemberdayaan dan keterlibatannya dengan kedua unsur ini, yakni Orang Dengan Demensia atau ODD, serta unsur keluarga dan pengasuh.
"Kami di sini punya layanan ODD yaitu layanan navigasi perawatan ALZI sebagai bentuk konkrit yang kami lakukan untuk ODD dengan keluarga dalam pendampingan perawatan ODD sejak tahun 2020. Jadi layanan konsultasi ini kami lakukan selama satu jam via Zoom, kami pertemukan antara keluarga dengan dokter dan didampingi oleh care navigator yang adalah care giver senior yang sudah berpengalaman, hingga dalam sesi tersebut ada hasil follow up yang bisa dilakukan oleh keluarga, what’s next ketika ada seseorang yang menderita demensia," ujar Michael.
Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. Yuda Turana, yang menjabat sebagai Scientific Director ALZI dan guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya.
"Yang penting kalau penanganan demensia itu tidak semata-mata farmakologi dengan obat-obatan karena victim (korban) dari demensia kan bukan hanya pasiennya tetapi juga care giver dan keluarganya. Jadi penanganan demensia itu penanganan untuk individu pasiennya sendiri tetapi juga untuk care giver-nya atau pendampingnya khususnya kalau pendampingnya yang seumuran ya, suami yang merawat suami atau istri yang merawat suami, tentu pendekatannya harus komprehensif (menyeluruh) meliputi keduanya," jelas Yuda.
Lebih jauh Yuda mengingatkan, pengobatan demensia sejauh ini belum mencapai hasil yang memuaskan, sehingga perhatian dunia medis masih difokuskan pada pencegahan serta mendeteksi gejala demensia sedini mungkin. Berbagai gangguan kesehatan yang muncul pada usia mid-life atau pertengahan harus diperhatikan.
BACA JUGA: Bulan Alzheimer Sedunia, Diaspora Indonesia di AS: Mama "Tak Bisa Mengenali Saya""Berbagai studi evidence-nya (buktinya) cukup kuat juga di mid life, di usia mid life seperti obesitas, kemudian physical inactivity (tidak aktif fisik), kemudian hipertensi, kemudian diabetes berisiko, loneliness (kesepian) ya, loneliness bukan tinggal sendiri tetapi rasa tidak dihargai itu juga faktor risiko, kemudian kualitas tidur tidak baik itu faktor risiko," lanjutnya.
Yuda menggolongkan faktor-faktor itu ke dalam dua jenis, yaitu yang bisa dimodifikasi atau dikendalikan, dan yang tidak bisa diapa-apakan lagi.
"Fokus pada yang bisa dimodifikasi, yang gaya hidup ya. Faktor risiko yang bisa kita ubah, bisa kita hindari," imbuh Yuda.
Your browser doesn’t support HTML5
Menurut Michael Dirk, usaha komprehensif ALZI yang unik ini sebenarnya merupakan sebuah dobrakan yang cukup mengejutkan.
"Alzheimer Indonesia melakukan rencana aksi nasional demensia yang artinya adalah bagaimana membantu orang dengan demensia care giver dan keluarga lintas generasi untuk sama-sama bisa melakukan pendukungan dalam perawatan demensia di Indonesia secara khusus. Hal ini telah membuat Indonesia satu langkah lebih maju dari WHO di mana di 2017 WHO kemudian mencanangkan adanya rencana aksi nasional ini secara global," kata Michael.
Sementara Prof. Yuda Turana menilai dari segi pengobatan farmakologi, baik di Indonesia maupun di negara maju, obat-obat yang dihasilkan penelitian untuk pengobatan demensia lebih bersifat memperlambat keparahan dan memperbaiki kualitas hidup sang pasien. Sejauh ini belum ada prosedur yang benar-benar mampu menghentikan proses demensia ini. [jm/em]