Di Bangladesh, dua pertiga dari anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, sehingga merampas sebagian masa kecil mereka dan hak memperoleh pendidikan.
Organisasi nirlaba yang berbasis di AS, mencoba mengubah hal itu dengan memberikan dukungan pendidikan melalui program yang disebut 'Program Pendidikan Anak Perempuan.’ Dukungan juga datang dari warga biasa - seperti seorang ibu dan putrinya yang berusia 9 tahun dari Maryland - yang membantu remaja putri yang hidup dalam kemiskinan.
Ketika Sasha Forbes mendengar wawancara dengan pendiri organisasi Speak Up for the Poor, ia tergerak dan terinspirasi oleh misinya.
“Saya sangat tergugah untuk memberdayakan anak perempuan dan perempuan,” ujarnya.
Speak Up for the Poor
Lembaga nirlaba yang berbasis di AS ini melakukan banyak pekerjaan di Bangladesh, salah satu negara termiskin di dunia.
Troy Anderson adalah pendiri dan direktur internasional Speak Up.
“Di Bangladesh, masalah utama di sana adalah pernikahan anak, di mana sampai dua pertiga anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Cukup banyak diantaranya yang menikah ketika mereka berusia 13 atau 14 tahun. Jadi di sisi pencegahan kami mengupayakan agar anak perempuan tetap bersekolah sehingga mereka tidak akan dipaksa menikah ketika mereka masih kecil,” katanya kepada VOA.
The Girls Education Program atau Program Pendidikan Remaja Puteri memberikan dukungan ekstra kurikuler, seperti les harian, buku, perlengkapan sekolah dan seminar pendidikan. Sekitar 1.300 anak perempuan dari 30 desa di pedesaan Bangladesh saat ini terdaftar dalam program ini, dengan ratusan lainnya masuk dalam daftar tunggu.
Mereka bergantung pada sponsor seperti keluarga Forbes untuk membantu mereka menyelesaikan sekolah. Tapi setelah setahun mensponsori seorang remaja putri berusia 12 tahun di Khulna, kota terbesar ketiga di Bangladesh, ibu berusia 39 tahun ini memutuskan untuk berupaya lebih keras lagi dan membawa serta putrinya yang berusia 9 tahun Maya untuk mengunjungi seorang remaja putri yang mereka sponsori.
“Saya ingin Maya bisa berhubungan dengan remaja putri di bagian lain dunia. Untuk mendapat perspektif berbeda serta mengetahui bahwa tidak semua orang bisa menjalani kehidupan atau pengalaman seperti yang kita miliki. Saya juga ingin ia tahu bahwa jika ia semangat mengerjakan sesuatu dan ingin membuat perbedaan atau menjadi sukarelawan itu sangat mungkin dilakukan,” ungkap Sasha.
Jadi Relawan di Bangladesh
Selama dua minggu, keduanya secara sukarela bekerja di berbagai desa di Khulna. Mereka melewatkan waktu bersama remaja putri yang mereka sponsori, mengunjungi ruang kelas, membawakan hadiah dan perlengkapan sekolah, dan mengajarkan pelajaran bahasa Inggris kepada puluhan remaja putri.
Bagi Maya, pengalaman itu memberinya pelajaran yang sangat berharga.
"Saya belajar bahwa tidak peduli seberapa banyak barang yang kita miliki, tidak peduli seberapa tinggi pendidikan kita, di dalam diri setiap orang pada dasarnya sama," tukasnya.
Setelah kembali ke AS, pasangan ibu - anak ini terus mengumpulkan dana dengan menjual barang bekas, mengadakan kegiatan olahraga untuk amal, bahkan menjual limun di dekat rumah. Mereka mengatakan sumbangan yang terkumpul akan dibawa kembali ke Bangladesh pada bulan November.
Your browser doesn’t support HTML5
Menginspirasi Orang Lain
Upaya mereka telah mengilhami orang lain seperti Wendy Zanders untuk mendukung perjuangan mereka.
"Tidak semua orang bisa pergi dan melakukan misi di lapangan. Kita bisa mendukung orang-orang yang melakukannya. Saya mungkin tidak bisa pergi, mengambil cuti dan pergi ke Bangladesh, tetapi karena ia (Sasha) sangat semangat kita bisa mendukungnya secara finansial, atau apa saja yang ia butuhkan," kata Wendy.
Dengan bantuan kelompok-kelompok seperti Speak Up for the Poor, Forbes dan putrinya Maya membuat perubahan pada kehidupan banyak orang. Melalui upaya mereka - banyak remaja putri berkesempatan untuk belajar - sehingga mereka bisa memilih jalan sendiri menuju kesuksesan. [my/vm]