Upaya Macron Galakkan Bahasa Perancis Dianggap 'Kolonialisme Baru'

Presiden Perancis, Emmanuel Macron

Sekelompok orang keluar dari pameran buku tahunan Paris, dengan tas belanja dimuati dengan buku-buku novel dan biografi Perancis terbaru. Namun, stan-stan buku yang mengisi ruang berlangit-langit cekung di luar Paris itu juga menampilkan pustaka dari Rusia, Afrika dan Kanada, sehingga mencerminkan betapa besarnya perluasan dan perubahan yang terjadi pada bahasa yang digunakan oleh penulis Perancis terbesar Molière.

Pada tahun 2050, jumlah pembicara Perancis diperkirakan hampir tiga kali lipat, mencapai 700 juta orang, menurut International Francophonie Organization yang berbasis di Paris, dengan 80 persen di antaranya di Afrika. Tetapi kini, meski memiliki status sebagai bahasa resmi yang ngetop, bahasa Perancis berkurang perannya di badan internasional seperti PBB dan Uni Eropa.

Tetapi mungkin untuk waktu yang tidak lama. Itu setidaknya merupakan gagasan dari Presiden Emmanuel Macron, yang pada hari Selasa (20/3) akan mengusulkan sebuah rencana besar untuk mempromosikan Perancis secara internasional. Cetak-birunya, bertepatan dengan Hari Francophonie Internasional, bertujuan untuk mengubah bahasa Perancis menjadi "bahasa utama di Afrika," yang merupakan tempat tinggal sebagian besar pembicara Francophone, dan mungkin juga di seluruh dunia.

Namun, dorongan linguistik Macron sangat kontroversial, dihargai oleh sebagian orang yang prihatin dengan peran bahasa itu di gelanggang dunia, namun dikecam oleh pihak lain sebagai upaya neokolonialisme Perancis. Menurut sejumlah pengecam dari Afrika, Perancis dan konsep bahasa Perancis sebagai bahasa dunia sudah berkembang dengan baik tanpa campur tangan dari Paris. [ps/jm]