Para pejabat kesehatan dengan bantuan WHO, membuat kemajuan melawan penyakit malaria yang kebal terhadap obat-obatan di daerah perbatasan Thailand, langkah penting untuk mencegah penyakit ini menyebar ke Asia Selatan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan malaria mengancam 2,2 miliar orang di 20 negara di kawasan Asia Pasifik. Pada tahun 2010 ada 28 juta orang dilaporkan sakit dan 38.000 orang meninggal, angka kematian yang hanya bisa disaingi oleh Sub-Sahara Afrika.
Lebih dari 90 persen kematian terdapat di India, Burma, Bangladesh, Indonesia dan Papua Nugini. Di seluruh dunia, penyakit yang ditularkan oleh nyamuk tersebut berdampak pada sekitar 260 juta orang dan membunuh 650.000 orang setiap tahunnya.
Dalam beberapa tahun terakhir pejabat-pejabat kesehatan mengandalkan pada kombinasi terapi berdasarkan obat artemisinin untuk melawan malaria.
Dr. Pascal Ringwald, koordinator WHO untuk unit kebal obat-obatan dan kontrol obat, mengatakan kemajuan terdapat di Wilayah Mekong, terutama dalam mengobati kasus yang melibatkan parasit falciparium yang mematikan. Namun dia mengatakan apa yang dicapai itu masih rentan. "Anehnya - dan ini adalah kabar baik - jumlah penderita falciparium turun drastis ini tidak hanya disebabkan oleh kegiatan pengendalian penyakit tetapi juga karena kita memiliki alat yang lebih baik, kami memiliki terapi kombinasi dan negara-negara tersebut memiliki program pengendalian malaria yang lebih baik," kata Dr.Pascal Ringwald.
WHO mengatakan para pejabat kesehatan sedang bergerak untuk menghilangkan malaria sepenuhnya di Bhutan, Korea Utara, Nepal dan Sri Lanka. Kematian akibat penyakit tersebut telah menurun tajam di Bangladesh dan Thailand, dan kemajuan telah dicatat di India, Indonesia, Birma dan Timor Leste.
Tapi sekarang muncul ancaman baru dengan adanya jenis malaria yang kebal obat terutama di Kamboja, Thailand, Vietnam dan Burma. Ringwald mengatakan masalahnya adalah menjaga komitmen politik untuk melawan malaria. Seperti diungkapkannya, "Salah satu masalah adalah ketika bahaya malaria berkurang di suatu negara, malaria dianggap bukan lagi prioritas. Jadi perlu menjaga kesadaran dan komitmen politik untuk tidak mengabaikan penyakit malaria."
Bentuk- bentuk kekebalan terhadap obat-obat malaria telah muncul di daerah perbatasan Thailand dan Kamboja dan antara Thailand dan Burma. Para ilmuwan menyalahkan penggunaan obat sekali pakai dan penjualan obat palsu sebagai penyebab resistansi tersebut. WHO mengatakan Kamboja berupaya untuk menindak penjualan obat palsu tersebut.
WHO mengatakan kekhawatiran utama tertuju pada Burma di mana 40 juta orang, atau 69 persen dari penduduk, hidup di daerah endemis malaria.
Lebih dari 90 persen kematian terdapat di India, Burma, Bangladesh, Indonesia dan Papua Nugini. Di seluruh dunia, penyakit yang ditularkan oleh nyamuk tersebut berdampak pada sekitar 260 juta orang dan membunuh 650.000 orang setiap tahunnya.
Dalam beberapa tahun terakhir pejabat-pejabat kesehatan mengandalkan pada kombinasi terapi berdasarkan obat artemisinin untuk melawan malaria.
Dr. Pascal Ringwald, koordinator WHO untuk unit kebal obat-obatan dan kontrol obat, mengatakan kemajuan terdapat di Wilayah Mekong, terutama dalam mengobati kasus yang melibatkan parasit falciparium yang mematikan. Namun dia mengatakan apa yang dicapai itu masih rentan. "Anehnya - dan ini adalah kabar baik - jumlah penderita falciparium turun drastis ini tidak hanya disebabkan oleh kegiatan pengendalian penyakit tetapi juga karena kita memiliki alat yang lebih baik, kami memiliki terapi kombinasi dan negara-negara tersebut memiliki program pengendalian malaria yang lebih baik," kata Dr.Pascal Ringwald.
WHO mengatakan para pejabat kesehatan sedang bergerak untuk menghilangkan malaria sepenuhnya di Bhutan, Korea Utara, Nepal dan Sri Lanka. Kematian akibat penyakit tersebut telah menurun tajam di Bangladesh dan Thailand, dan kemajuan telah dicatat di India, Indonesia, Birma dan Timor Leste.
Tapi sekarang muncul ancaman baru dengan adanya jenis malaria yang kebal obat terutama di Kamboja, Thailand, Vietnam dan Burma. Ringwald mengatakan masalahnya adalah menjaga komitmen politik untuk melawan malaria. Seperti diungkapkannya, "Salah satu masalah adalah ketika bahaya malaria berkurang di suatu negara, malaria dianggap bukan lagi prioritas. Jadi perlu menjaga kesadaran dan komitmen politik untuk tidak mengabaikan penyakit malaria."
Bentuk- bentuk kekebalan terhadap obat-obat malaria telah muncul di daerah perbatasan Thailand dan Kamboja dan antara Thailand dan Burma. Para ilmuwan menyalahkan penggunaan obat sekali pakai dan penjualan obat palsu sebagai penyebab resistansi tersebut. WHO mengatakan Kamboja berupaya untuk menindak penjualan obat palsu tersebut.
WHO mengatakan kekhawatiran utama tertuju pada Burma di mana 40 juta orang, atau 69 persen dari penduduk, hidup di daerah endemis malaria.