Lebih dari setengah penduduk dunia saat ini hidup di perkotaan, namun perencanaan tata kota yang baik masih kurang, terutama terkait isu gender.
Forum Urban Dunia dibuka Sabtu, dan diadakan sampai 7/9, di Naples, Italia untuk membahas tren urbanisasi yang meningkat. Sekitar 3.000 peserta dari 114 negara diharapkan menghadiri konferensi tahun ini yang tahun ini bertemakan “Masa Depan Urban.”
Forum Urban Dunia ke-6 tersebut akan membahas masalah sosial, ekonomi dan lingkungan, termasuk kualitas hidup, persamaan dan kemakmuran, pembukaan lapangan kerja dan energi serta transportasi.
“Forum Urban Dunia adalah kegiatan PBB yang diadakan setiap dua tahun, utamanya diselenggarakan oleh badan PBB, UN Habitat. Acara ini merupakan ruang bagi orang-orang untuk berkumpul dan berdialog mengenai urbanisasi. Barangkali bukan ruang politik, namun lebih banyak pada debat dan dialog yang didominasi oleh lembaga-lembaga PBB, akademisi dan pejabat pemerintah tingkat kota,” ujar Ramona Vijeyarasa dari organisasi anti-kemiskinan ActionAid International.
Vijeyarasa, manajer program senior untuk hak-hak perempuan di ActionAid, mengatakan saat ini lebih dari setengah penduduk dunia tinggal di perkotaan atau wilayah urban.
“Yang lebih menarik adalah bahwa kecepatan pengurangan kemiskinan di wilayah urban telah melambat dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Jadi bagi kami, kami melihat urbanisasi kemiskinan yang nyata. Dan saya kira bahkan di dalam sektor pembangunan, kita tidak pernah cukup membahas kemiskinan urban. Namun isu inilah yang mempengaruhi sebagian besar penduduk dunia dibandingkan yang lainnya, menurut pendapat saya, pada saat ini,” ujarnya.
Urbanisasi, tambahnya, memiliki dua sisi. Ia dapat membawa marjinalisasi, kekerasan dan perumahan di bawah standar bagi kelompok miskin, namun pada saat yang sama memberikan kesempatan untuk berkembang dan maju.
ActionAid akan ambil bagian dalam presentasi di Forum Urban Dunia mengenai situasi tidak aman yang dihadapi perempuan di daerah perkotaan. Vijeyarasa mengatakan bahwa hal itu termasuk daerah-daerah yang tidak aman dan tidak diterangi lampu, divisi polisi yang tidak sensitif terhadap isu-isu perempuan dan tingkat kriminalitas yang lebih tinggi.
“Kita sering membahas perempuan migran di wilayah-wilayah ini. Ada lebih banyak isolasi dan kurangnya akses terhadap layanan dan cara untuk melaporkan kejahatan dan kekerasan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa perencanaan tata kota yang baik dapat menyentuh isu-isu ini.
“Tentu saja, idealnya, kita akan melihat kota-kota yang baru dan tumbuh. Jadi, banyak komunitas peri-urban dan pedesaan yang semakin mengalami urbanisasi memberikan kesempatan baik untuk merancang kota yang sensitif terhadap isu gender. Namun seperti yang Anda ketahui, banyak kota-kota yang kita bahas, misalnya di Kenya atau Ethiopia, sudah menjadi kota yang mapan. Jadi kita sedang mencoba mengatasi masalah ini.”
Namun, Vijeyarasa mengatakan ada banyak solusi yang tersedia. Namun ia mengatakan bahwa orang-orang pertama-tama harus menyadari masalah sebelum mengatasinya.
“Saya kira isu gender tidak terlalu dipikirkan. Perencanaan tata kota merupakan sektor yang sangat didominasi pria. Dan bahkan saya bisa melihat bahwa Forum Urban Dunia juga merupakan ruang yang didominasi pria. Jadi hal pertama yang harus dilakukan adalah untuk memasukkan isu gender ke dalam agenda dan melihat akuntabilitas dari semua pihak terkait, yang bertanggung jawab terhadap urbanisasi, perencanaan tata kota dan keamanan serta keselamatan. Ada banyak mekanisme yang dapat dicoba di beberapa tempat: Peningkatan jumlah polisi wanita, pelatihan untuk polisi secara umum, bahkan pelatihan pekerja bidang transportasi telah dicoba di negara-negara seperti India.”
Ia mengatakan bahwa riset ActionAid di Ghana, Afrika Selatan dan India menunjukkan bahwa perempuan muda, usia 19 sampai 24, terutama rentan eksploitasi seksual dan ekonomi, dan menghadapi kurangnya pelayanan kesehatan dan reproduksi.
Pada sisi positifnya, wilayah perkotaan memberikan kesempatan pendidikan yang lebih tinggi untuk perempuan dewasa dan anak perempuan, pasar yang lebih besar untuk barang yang mereka produksi, dan kesempatan untuk membentuk jaringan dengan perempuan-perempuan lain untuk membentuk kelompok politik atau lobi.
Forum Urban Dunia ke-6 tersebut akan membahas masalah sosial, ekonomi dan lingkungan, termasuk kualitas hidup, persamaan dan kemakmuran, pembukaan lapangan kerja dan energi serta transportasi.
“Forum Urban Dunia adalah kegiatan PBB yang diadakan setiap dua tahun, utamanya diselenggarakan oleh badan PBB, UN Habitat. Acara ini merupakan ruang bagi orang-orang untuk berkumpul dan berdialog mengenai urbanisasi. Barangkali bukan ruang politik, namun lebih banyak pada debat dan dialog yang didominasi oleh lembaga-lembaga PBB, akademisi dan pejabat pemerintah tingkat kota,” ujar Ramona Vijeyarasa dari organisasi anti-kemiskinan ActionAid International.
Vijeyarasa, manajer program senior untuk hak-hak perempuan di ActionAid, mengatakan saat ini lebih dari setengah penduduk dunia tinggal di perkotaan atau wilayah urban.
“Yang lebih menarik adalah bahwa kecepatan pengurangan kemiskinan di wilayah urban telah melambat dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Jadi bagi kami, kami melihat urbanisasi kemiskinan yang nyata. Dan saya kira bahkan di dalam sektor pembangunan, kita tidak pernah cukup membahas kemiskinan urban. Namun isu inilah yang mempengaruhi sebagian besar penduduk dunia dibandingkan yang lainnya, menurut pendapat saya, pada saat ini,” ujarnya.
Urbanisasi, tambahnya, memiliki dua sisi. Ia dapat membawa marjinalisasi, kekerasan dan perumahan di bawah standar bagi kelompok miskin, namun pada saat yang sama memberikan kesempatan untuk berkembang dan maju.
ActionAid akan ambil bagian dalam presentasi di Forum Urban Dunia mengenai situasi tidak aman yang dihadapi perempuan di daerah perkotaan. Vijeyarasa mengatakan bahwa hal itu termasuk daerah-daerah yang tidak aman dan tidak diterangi lampu, divisi polisi yang tidak sensitif terhadap isu-isu perempuan dan tingkat kriminalitas yang lebih tinggi.
“Kita sering membahas perempuan migran di wilayah-wilayah ini. Ada lebih banyak isolasi dan kurangnya akses terhadap layanan dan cara untuk melaporkan kejahatan dan kekerasan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa perencanaan tata kota yang baik dapat menyentuh isu-isu ini.
“Tentu saja, idealnya, kita akan melihat kota-kota yang baru dan tumbuh. Jadi, banyak komunitas peri-urban dan pedesaan yang semakin mengalami urbanisasi memberikan kesempatan baik untuk merancang kota yang sensitif terhadap isu gender. Namun seperti yang Anda ketahui, banyak kota-kota yang kita bahas, misalnya di Kenya atau Ethiopia, sudah menjadi kota yang mapan. Jadi kita sedang mencoba mengatasi masalah ini.”
Namun, Vijeyarasa mengatakan ada banyak solusi yang tersedia. Namun ia mengatakan bahwa orang-orang pertama-tama harus menyadari masalah sebelum mengatasinya.
“Saya kira isu gender tidak terlalu dipikirkan. Perencanaan tata kota merupakan sektor yang sangat didominasi pria. Dan bahkan saya bisa melihat bahwa Forum Urban Dunia juga merupakan ruang yang didominasi pria. Jadi hal pertama yang harus dilakukan adalah untuk memasukkan isu gender ke dalam agenda dan melihat akuntabilitas dari semua pihak terkait, yang bertanggung jawab terhadap urbanisasi, perencanaan tata kota dan keamanan serta keselamatan. Ada banyak mekanisme yang dapat dicoba di beberapa tempat: Peningkatan jumlah polisi wanita, pelatihan untuk polisi secara umum, bahkan pelatihan pekerja bidang transportasi telah dicoba di negara-negara seperti India.”
Ia mengatakan bahwa riset ActionAid di Ghana, Afrika Selatan dan India menunjukkan bahwa perempuan muda, usia 19 sampai 24, terutama rentan eksploitasi seksual dan ekonomi, dan menghadapi kurangnya pelayanan kesehatan dan reproduksi.
Pada sisi positifnya, wilayah perkotaan memberikan kesempatan pendidikan yang lebih tinggi untuk perempuan dewasa dan anak perempuan, pasar yang lebih besar untuk barang yang mereka produksi, dan kesempatan untuk membentuk jaringan dengan perempuan-perempuan lain untuk membentuk kelompok politik atau lobi.