Abdul Ficar Hadjar, pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, menilai rencana pembentukan tim pemburu koruptor itu merupakan reaksi terhadap lolosnya Djoko Tjandra, terpidana kasus pengalihan tagihan utang Bank Bali yang berstatus buron, dapat leluasa keluar masuk Indonesia.
Ficar, dalam diskusi bertema “Menakar Efektifitas Rencana Pembentukan Tim Pemburu Koruptor” di Jakarta, Sabtu (18/7), menilai gagasan pembentukan tim pemburu koruptor itu menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia itu tidak bekerja.
Gagasan ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pekan lalu karena banyaknya buronan kasus korupsi yang belum berhasil ditangkap.
BACA JUGA: Pemerintah Bawa Pulang Buronan Pembobol BNI dari SerbiaFicar mengatakan pemerintah tidak perlu membentuk tim pemburu koruptor karena di dalam sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia terdapat empat fungsi yang didukung beberapa lembaga terkait. Keempat fungsi itu adalah penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pemasyarakatan. Di antara fungsi peradilan dan pemasyarakatan ada fungsi eksekutor yang dipegang oleh kejaksaan.
Dari sudut pengamanan, lanjut Abdul Ficar, polisi selain penegak hukum, juga berfungsi sebagai penanggung jawab keamanan dalam negeri. Artinya kepolisian bisa diminta untuk mendukung penegakan hukum untuk mengamankan narapidana atau buronan.
Imigrasi dapat mendukung sistem peradilan pidana dengan mengawasi lalu lintas orang keluar masuk Indonesia. Fungsi ini menjadi signifikan dalam konteks mencegah seseorang masuk dalam daftar pencarian orang atau melarang orang asing dianggap berbahaya atau melanggar hukum masuk ke Indonesia.
Lembaga terkait lainnya yang dapat mendukung sistem peradilan pidana di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Kementerian Dalam Negeri. Abdul Ficar menyebutkan Direktorat Jenderal Kependudukan mestinya sudah mengetahui kalau ada buron berganti kartu identitas.
"Artinya secara sistemik kita nggak perlu lagi ada badan-badan khusus untuk mengejar narapidana atau tim-tim khusus untuk mengejar narapidana. Karena secara sistem, sudah komplit semuanya, sudah ada. Yang kurang adalah koordinasi," kata Abdul Ficar.
Koordinasi Antar Kementerian Sedianya Kuat
Menurut Abdul Ficar, koordinasi antar kementerian atau lembaga terkait dalam penegakan sistem hukum pidana di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Alasan lainnya kenapa tim pemburu koruptor tidak dibutuhkan terkait pendanaan. Abdul Ficar menganggap tim tersebut akan menambah beban negara yang kesulitan anggaran di tengah pandemi Covid-19 dan ini sangat ironis. Yang perlu dilakukan, ujar Ficar, adalah penguatan koordinasi antar lembaga terkait oleh Kemenkopolhukam dan menghilangkan ego-ego sektoral dalam penegakan sistem hukum pidana di Indonesia.
BACA JUGA: KPK Berharap MA Terbitkan Pedoman Pemidanaan KoruptorDalam konteks eksternal, perburuan koruptor bisa dilakukan lewat kerjasama dengan negara lain, yakni kerjasama bantuan timbal balik dalam persoalan hukum atau mutual legal assistance (MLA). Hal ini dapat diperkuat dengan perjanjian ekstradisi secara bilateral.
Mafia Hukum
Hal senada disampaikan Oce Madril, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM), yang menyebut fakta adanya buronan koruptor yang berhasil ditangkap tanpa ada tim khusus dibentuk oleh pemerintah. Dia mencontohkan yang terbaru adalah penangkapan Maria Pauline Lumowa di Serbia, buronan dalam perkara korupsi yang membobol Bank Negara Indonesia sebesar Rp 1,7 triliun.
Oce menggarisbawahi alasan buronan-buronan koruptor di luar negeri yang belum berhasil ditangkap atau masih bisa berkeliaran bebas karena ada mafia hukum yang memanfaatkan posisi-posisinya.
"Kalau mau, pertama kali dikejar adalah mafia hukumnya. Itu dulu mungkin. Itu (mafia hukum) yang menjadi penyebab gagalnya, bukan kemampuan aparat kita. Regulasi oke tapi perlu dilengkapi," ujar Oce.
Oce mengusulkan agar Presiden Jokowi Widodo mengeluarkan instruksi presiden tentang percepatan perburuan koruptor, bukan instruksi presiden buat membentuk tim pemburu koruptor. Isi instruksi presiden tersebut, lanjut Oce, adalah perintah presiden kepada masing-masing lembaga terkait untuk memaksimalkan fungsi-fungsinya supaya mempercepat menangkap buronan koruptor dengan langkah-langkah terukur dan waktu yang pasti.
Selain itu, instruksi presiden ini berisi dorongan kepada lembaga-lembaga terkait untuk menghasilkan undang-undang atau kebijakan pendukung, misalnya beleid mengenai perampasan aset. Jua harus ada evaluasi terhadap lembaga-lembaga yang tidak menjalankan perintah presiden tersebut dengan baik.
BACA JUGA: DPR Cecar Dirjen Imigrasi Soal Djoko Tjandra Bisa Peroleh PasporKerja sama antar lembaga
Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Laode M. Syarif menjelaskan berdasarkan pengalaman KPK, yang kerja sama antar lembaga terkait di Indonesia dan luar negeri merupakan mekanisme paling baik untuk memberangus para buronan koruptor. Dia mencontohkan Polri dengan kepolisian di negara bersangkutan atau KPK dengan lembaga antikorupsi di negara lain.
Saluran lainnya adalah melalui MLA (bantuan hukum timbal balik), Interpol, Financial Intelligent Unit (FIU) Channel (Egmont Group) untuk perampasan aset, dan imigrasi untuk pendeportasian.
Laode Syarif mencontohkan bagaimana KPK di eranya mampu menangkap politikus Partai Demokrat M. Nazaruddin meski tidak ada tim pemburu buronan koruptor. Dia menceritakan pelarian Nazaruddin dari Indonesia terbang ke Singapura, lalu menuju Vietnam. Dari sana, Nazaruddin pergi ke Kamboja dan mencarter pesawat terbang ke Kolombia.
Laode Syarif menegaskan waktu itu kerjasama bagus antara KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kementerian Luar Negeri berhasil membawa pulang Nazaruddin. Kalau tim dari KPK tiba di Kolombia terlambat dua jam, Nazaruddin sudah menjadi warga negara Kolombia.
"Kalau telat dua jam, Pak Nazaruddin sudah menjadi warga negara Kolombia karena dia sudah mengurus waktu itu. Ini kadang yang dilupakan para pejabat dan harus operasi seperti ini nggak boleh ribut. Diam-diam, nggak ada yang tahu," ujar Laode Syarif.
Kendala Perburuan
Namun menurutnya ada beberapa hambatan dalam perburuan buronan koruptor di luar negeri. Ada negara yang betul-betul tidak kooperatif.
Your browser doesn’t support HTML5
Laode menceritakan bagaimana ketika ia sudah tiba di ibu kota negara dituju dan kesepakatan untuk melangsungkan kerja sama sudah dicapai, mendadak pertemuan dibatalkan. Belum lagi proses MLA yang panjang dan berbelit. Hal itu masih diperparah dengan kurangnya sumber daya manusia – termasuk petugas penegak hukum – yang menguasai bahasa asing sehingga dapat menerjemahkan semua dokumen yang diperlukan sesuai negara tujuan perburuan.
Hambatan lainnya adalah pergerakan orang dan transaksi keuangan yang berlangsung sangat cepat.
Dari pada membikin tim pemburu koruptor, Laode Syarif meminta agar pemerintah segera membentuk perjanjian ekstradisi dengan Singapura. Serta segera dirampungkannya pembahasan RUU Perampasan Aset. [fw/em]