Utak Atik Jalan Ataturk

  • Fathiyah Wardah

Kawasan Taman Menteng di Jakarta ditutup untuk umum sejak pemerintah pusat menerapkan pembatasan aktivitas untuk mencegah penyebaran COVID-19 di Jawa dan Bali. Foto diambil pada 3 Juli 2021. (Foto: Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana)

Wacana pemberian nama salah satu jalan di kawasan Menteng, Jakarta, menggunakan nama tokoh Turki Mustafa Kemal Ataturk memunculkan polemik di masyarakat.

Polemik ini bermula dari usulan pemerintah Indonesia melalui kedutaan besarnya di ibu kota Ankara untuk mengubah nama jalan di depan kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), dari Jalan Holland Cadesi menjadi Jalan Soekarno Ahmed. Ide tersebut telah diterima oleh pemerintah Turki.

Berdasarkan asas resiprokal, jalan di Jakarta juga diganti dengan nama jalan salah satu tokoh atau bapak bangsa Turki. Dan yang dipilih adalah Mustafa Kemal Ataturk.

Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta membenarkan nama Mustafa Kemal Ataturk akan dipakai menjadi nama sebuah jalan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Pemerintah Jakarta juga menyebutkan bahwa ide pemberian nama Ataturk tersebut juga berasal dari pemerintah Turki dan bukan pemerintah Indonesia.

BACA JUGA: Nama Presiden Joko Widodo Dijadikan Nama Jalan di Abu Dhabi

Rencana ini langsung menuai polemik. Sebagian kalangan umat Islam menolak Ataturk menjadi nama jalan di Jakarta.

Wirausahawan Mardiono dari Bekasi termasuk yang tidak setuju akan wacana tersebut.

"Karena Ataturk penghancur khilafah islamiah, hukum-hukum Islam, simbo-simbol negara Islam di Turki dihilangkan semua. Sementara mayoritas di Indonesia adalah muslim. Salam juga menyakiti muslim Indonesia. Ngapain dikasih nama Ataturk, yang lain aja, masih banyak," kata Mardiono kepada VOA.

Sementara itu, Santi Herawati, seorang perempuan yang tinggal di kawasan Menteng Pulo, mengatakan dirinya tidak setuju akan wacana tersebut karena alasan agama.

"Bahasa luasnya istilahnya toleransi, saya setuju karena di sana ada nama presiden kita tapi kalau dari sudut agama, saya kurang setuju," ujar Santi.

Para pendukung Partai Republik Rakyat Turki membawa poster yang berisi wajah Mustafa Kemal Ataturk dalam sebuah aksi unjuk rasa di Ankara untuk memperingati hari jadi negara tersebut yang ke-90 pada 29 Oktober 2013. (Foto: AP/Burhan Ozbilici)

Sementara seorang karyawan swasta yang juga tinggal di Jakarta, Ahmad Taufik menilai tidak masalah menjadikan nama Ataturk sebagai nama jalan di Jakarta. Menurut pria lulusan Universitas Padjajaran, Bandung ini, hal tersebut merupakan bentuk penghargaan atas hubungan Indonesia dan Turki yang sudah terjalin cukup lama.

"Menurut saya sih tidak masalah ya. Inikan hanya sebagai bentuk penghargaan atas hubungan kedua negara. Di sana Turki sudah kasih Indonesia nama Soekarno, masa di sini, Turki minta nama Ataturk tidak dikasih. Kita tidak usah melihat Ataturknya sebagai tokoh sekuler,” ujar Ahmad.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan rencana penamaan Jalan Soekarno di Ankara dan Jalan Ataturk di Jakarta merupakan bagian dari kerjasama Indonesia dan Turki.

"Ada keinginan dari kita dan dari pemerintah Turki agar ada nama dari kita yang ada di Turki dan juga nama tokoh dari Turki," kata Riza Patria.

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan mengatakan pihaknya memang menolak Mustafa Kemal Ataturk dijadikan sebagai nama jalan di Jakarta dengan alasan bertentangan dengan prinsip-prinsip hubungan bebas dan aktif.

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Amirsyah Tambunan. (Foto: Courtesy of MUI)

Karena itulah, ia berpendapat bahwa soal pemberian nama jalan tidak sepatutnya menjadi simbol peningkatan hubungan diplomatik Indonesia dan Turki. Menurutnya, pemerintah harus menghargai penolakan yang dilontarkan sebagian umat Islam. Sebab Ataturk dinilai sangat mencewakan umat Islam dunia karena program sekularisasi yang ia terapkan di Turki.

Dalam konteks tersebut, lanjut Amirsyah, MUI telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan sekulerisme, pluralisme dan liberalisme.

"Di banyak negara, termasuk Amerika negara sekuler, tapi tidak mencampuri soal-soal internal umat beragama dan memberikan kebebasan. Sehingga bagi umat beragama di negara seperti Amerika, umat islam merasa lebih nyaman," kata Amir.

Tapi di Turki yang mayoritas rakyatnya kaum Muslim, menurut Amir, ketika itu sekulerisasi yang dilakukan Ataturk menyesatkan karena mencampur-adukkan soal-soal keyakinan umat Islam seperti mengubah azan dengan menggunakan bahasa selain Arab.

Your browser doesn’t support HTML5

Utak Atik Jalan Ataturk

Amir menegaskan Turki mestinya mengusulkan tokoh yang tidak menimbulkan kontroversi. Dia meminta Turki mengusulkan nama Sultan Mehmet II atau Muhammad al-Fatih.

Kontroversi ini dinilai baru akan berhenti jika usulan nama Ataturk diganti atau bahkan rencana penamaan jalan dengan pahlawan dari Turki dibatalkan sama sekali. Karena menurut Amir, Indonesia masih memiliki banyak stok pahlawan yang layak dijadikan nama sebuah jalan. [fw/em]